Stmikkomputama.ac.id – Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, terus bergelut dengan masalah sistemik yang menghambat pembangunan dan keadilan sosial khususnya tindak pidana korupsi. Meski berbagai upaya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dilakukan, kasus korupsi masih sering menghiasi headline berita, melibatkan elite politik, pejabat pemerintah, hingga aparat penegak hukum.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya agama Islam, yang dianut oleh mayoritas warga Indonesia, memandang praktik korupsi? Artikel ini akan mengkaji korupsi melalui lensa syariat Islam dan menganalisis mengapa praktik ini masih marak terjadi di tengah masyarakat yang religius.
Dalam bahasa Arab, korupsi sering diidentikkan dengan beberapa istilah kunci yang memiliki cakupan makna yang luas dan mendalam:
1. Al-Risywah (الرشوة): Ini adalah istilah yang paling langsung merujuk pada suap. Rasulullah SAW secara tegas mengutuk praktik ini dalam hadisnya: “La’natullāhu ‘alār-rāsyī wal-murtasyī” (Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud). Laknat Allah menunjukkan dosa besar yang menjauhkan pelakunya dari rahmat-Nya.
2. Al-Ghulul (الغلول): Istilah ini merujuk pada penggelapan atau penyelewengan harta rampasan perang (ghanimah) atau harta negara (baitul mal). Praktik ini dikutuk keras dalam Al-Qur’an (QS. Ali ‘Imran: 161). Dalam konteks modern, ghulul dapat disamakan dengan korupsi anggaran, mark-up proyek, atau penggelapan dana pemerintah.
3. Al-Fasad (الفساد): Ini adalah istilah yang paling luas, yang berarti kerusakan. Korupsi adalah bentuk nyata dari fasad di muka bumi. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56). Tindak korupsi sangat merusak tatanan ekonomi, sosial, dan moral masyarakat, bahkan dapat meruntuhkan suatu negara.
Dari definisi diatas jelas bahwa Islam tidak hanya melihat korupsi sebagai pelanggaran administratif, tetapi sebagai kejahatan moral dan spiritual yang merusak individu, masyarakat, dan negara.
Dosa Ganda: Melanggar Hak Allah (Haqqullah) dan Hak Manusia (Haqqul Adami)
Islam memandang korupsi sebagai pelanggaran yang bersifat multidimensi, misalnya.
Pertama, melanggar Hak Allah (Haqqullah): Korupsi adalah pengingkaran terhadap amanah yang Allah berikan. Setiap pejabat adalah pemegang amanah (QS. An-Nisa: 58). Menyalahgunakan amanah tersebut adalah bentuk kemaksiatan kepada Sang Pemberi Amanah.
Kedua, Melanggar Hak Manusia (Haqqul Adam): Korupsi secara nyata merampas hak-hak masyarakat. Dana yang seharusnya untuk pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, dan bantuan sosial dikorupsi untuk kepentingan segelintir orang.
Ini merupakan bentuk kezaliman (zhulm) karena telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya dan merugikan banyak pihak. Hak korban korupsi tidak akan diampuni oleh Allah Swt. sampai pelaku meminta maaf dan mengembalikan hak yang telah diambilnya.
Analisis Penyebab Maraknya Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Islam
Meski ajaran Islam jelas mengharamkan korupsi, mengapa praktik ini masih suburdi Idonesia sampai saat ini? Ada beberapa faktor yang dapat dikaji untuk memahami tindak korupsi tersebut.
Pertama, pemahaman agama yang parsial: Banyak orang yang rajin menjalankan ibadah ritual (shalat, puasa, haji) tetapi memisahkan urusan duniawi (muamalah) dari nilai-nilai agama. Ibadah dipandang sebagai hubungan vertikal dengan Allah Swt. semata, sementara korupsi dianggap sebagai urusan horizontal yang “bisa dinegosiasikan”. Sesungguhnya, Islam adalah agama yang menyatukan kedua aspek tersebut.
Kedua, lemahnya internalisasi nilai amanah: Nilai amanah belum menjadi karakter yang mengakar kuat dalam budaya birokrasi dan politik. Seringkali, loyalitas kepada kelompok, partai, atau keluarga lebih diutamakan daripada loyalitas kepada kebenaran dan rakyat.
Ketiga, sistem yang lemah dan godaan yang kuat: Sistem pengawasan yang buruk, birokrasi yang berbelit, dan gaji yang tidak memadai bagi sebagian pegawai menciptakan peluang dan godaan yang besar untuk melakukan korupsi. Dalam kondisi seperti ini, iman dan ketakwaan diuji. Sedangkan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara khususnya kelompok elit bukan karena faktor gaji yang kecil tetapi lebih mengarah pada keserakahan (طماع ).
Keempat, normalisasi korupsi (‘It’s just how things work’): Korupsi dalam level tertentu sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar untuk mempermudah urusan. Budaya “terima kasih” yang tidak pada tempatnya dapat berubah menjadi suap yang halus. Normalisasi ini mengaburkan batas antara yang halal dan haram.
Langkah Solusi: Integritas Individu dan Perbaikan Sistem
Pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan komprehensif yang menyentuh aspek individu dan sistem:
1. Pendidikan Karakter Islami Sejak Dini: Menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab melalui pendidikan formal dan informal. Keluarga dan lembaga pendidikan harus menjadi garda terdepan.
2. Dakwah yang Kontekstual: Ulama dan tokoh agama perlu lebih sering menyampaikan khutbah dan ceramah yang membahas bahaya korupsi secara spesifik, bukan hanya secara umum, dengan merujuk pada dalil-dalil yang jelas.
3. Penguatan Sistem dan Penegakan Hukum yang nyata: Menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, adil, dan tanpa pandang bulu. Institusi seperti KPK perlu didukung dan diperkuat.
4. Keteladanan dari Elite: Figur pemimpin, baik politik maupun agama, harus menjadi contoh integritas. Perilaku koruptif dari elite akan memberikan sinyal yang buruk dan melegitimasi praktik serupa di level bawah.
Kesimpulan
Dari perspektif Islam, korupsi bukanlah delik biasa, melainkan perbuatan dosa besar yang merusak (fasad) dan mengundang laknat Allah SWT. Ia melanggar hak Allah dan hak manusia secara bersamaan. Maraknya korupsi di Indonesia, meski mayoritas penduduknya Muslim, menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara nilai-nilai keagamaan yang diyakini secara abstrak dengan praktik dalam kehidupan sehari-hari di ranah publik.
Oleh karena itu, pemberantasannya tidak bisa hanya mengandalkan hukum positif semata, tetapi harus disertai dengan revitalisasi nilai-nilai Islam tentang kejujuran, amanah, dan tanggung jawab. Sinergi antara penguatan iman individu, peran aktif komunitas dan ulama, serta penegakan hukum yang tegas dan adil merupakan formula penting untuk memutus mata rantai korupsi yang telah begitu lama melembaga di Indonesia.
Pada akhirnya, memerangi korupsi adalah bagian dari jihad untuk menegakkan keadilan dan mencegah kerusakan di muka bumi, sebagaimana perintah Allah SWT.
Referensi:
1. Al-Qur’an Al-Karim.
2. Abu Daud, Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
3. At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa. Sunan At-Tirmidzi. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi.
4. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
5. Al-Maududi, Abul A’la. 1992. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publications.
6. Chapra, M. Umer. 2008. Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform. Markfield: The Islamic Foundation.
7. Islahi, Abdul Azim. 2009. Economic Concepts of Ibn Taimiyah. Markfield: The Islamic Foundation.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Laporan Tahunan dan berbagai publikasi terkait korupsi di Indonesia).
*Kuswantoro, Dosen Islamic Studies di STMIK Komputama Cilacap