Slide 3
Slide 2
KULIAH DI STMIK KOMPUTAMA MAJENANG
KULIAH GRATIS 100%

Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kamu bisa kuliah gratis 100% dan juga bisa dapat uang saku tiap bulan

Slide 1
“LOCAL CAMPUS GLOBAL VALUES”
previous arrow
next arrow
Home » article » Potret Mahasiswa Menyikapi Demonstrasi Nasional, Tinjauan Pendidikan Kritis

Potret Mahasiswa Menyikapi Demonstrasi Nasional, Tinjauan Pendidikan Kritis

Stmikkomputama.ac.id – Demonstrasi nasional yang terjadi pada tahun 2025 menjadi momentum penting dalam dinamika demokrasi […]


Stmikkomputama.ac.id – Demonstrasi nasional yang terjadi pada tahun 2025 menjadi momentum penting dalam dinamika demokrasi Indonesia. Peristiwa ini menyoroti ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah sekaligus menghadirkan tantangan baru bagi mahasiswa sebagai agen perubahan.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana mahasiswa, sebagai kelompok intelektual muda, dapat menyikapi fenomena demonstrasi dengan cara yang kritis, etis, dan bertanggung jawab. Analisis menggunakan perspektif pendidikan kritis Paulo Freire, konsep partisipasi demokratis, serta teori peran mahasiswa dalam perubahan sosial.

Hasil kajian menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya berperan sebagai penggerak aksi massa, tetapi juga sebagai pengawal demokrasi melalui kajian ilmiah, komunikasi publik yang konstruktif, serta partisipasi aktif dalam proses penyadaran sosial.

Mahasiswa dari Masa ke Masa

Mahasiswa sejak era pergerakan nasional memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Dari masa 1966, Reformasi 1998, hingga gelombang protes tahun 2025, mahasiswa senantiasa hadir sebagai katalisator perubahan. Demonstrasi terbaru dipicu oleh kebijakan tunjangan anggota DPR yang dinilai tidak adil, memicu gelombang protes besar dan benturan di sejumlah kota besar.

Dalam konteks pendidikan tinggi, peristiwa ini bukan hanya isu politik, tetapi juga ruang belajar nyata bagi mahasiswa mengenai demokrasi, keadilan sosial, dan kesadaran kritis. Pertanyaannya: bagaimana mahasiswa dapat menyikapi fenomena demonstrasi tanpa terjebak dalam anarkisme, serta tetap konsisten pada jati dirinya sebagai insan akademik?

Landasan Teori

  1. Pendidikan Kritis (Paulo Freire, 1970)

Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses pembebasan. Mahasiswa dituntut untuk membaca realitas sosial, melakukan refleksi, lalu bertindak dalam kerangka emansipasi.

  1. Partisipasi Demokratis (Robert A. Dahl, 1989)

Demokrasi menuntut keterlibatan aktif warga negara dalam menyuarakan aspirasi, termasuk mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sipil yang terdidik.

  1. Peran Mahasiswa dalam Perubahan Sosial (Soedjatmoko, 1995)

Mahasiswa memiliki tiga peran utama: agent of change (agen perubahan), guardian of values (penjaga nilai), dan iron stock (cadangan pemimpin masa depan).

Pembahasan

  1. Demonstrasi sebagai Ruang Pendidikan Demokrasi

Demo 2025 memberikan “kelas nyata” bagi mahasiswa. Mereka belajar tentang dinamika kebijakan publik, hak menyampaikan pendapat, serta risiko yang melekat dalam perjuangan demokratis. Situasi ini memperlihatkan bahwa demonstrasi dapat menjadi media pembelajaran non-formal untuk memperkuat civic education.

  1. Sikap Kritis Mahasiswa

Mahasiswa dituntut untuk tidak hanya reaktif, melainkan proaktif dengan argumentasi berbasis data dan analisis ilmiah. Misalnya, alih-alih sekadar menolak kebijakan, mahasiswa dapat menyusun kajian akademik, naskah policy brief, atau diskusi publik di kampus.

  1. Etika dan Tanggung Jawab

Sebagai kelompok intelektual, mahasiswa harus membedakan antara kritik konstruktif dan tindakan destruktif. Anarkisme hanya memperburuk citra perjuangan. Oleh karena itu, pendekatan yang menekankan etika, disiplin, dan strategi komunikasi publik sangat penting.

  1. Alternatif Aksi di Era Digital

Selain turun ke jalan, mahasiswa juga bisa memanfaatkan teknologi digital sebagai ruang advokasi: menulis opini ilmiah, menginisiasi petisi daring, hingga menyebarkan edukasi melalui media sosial. Cara ini dapat memperluas jangkauan pesan tanpa mengorbankan keselamatan.

Kesimpulan

Demonstrasi 2025 menunjukkan bahwa mahasiswa tetap menjadi kekuatan moral dan sosial dalam demokrasi Indonesia. Namun, peran tersebut harus dijalankan dengan kesadaran kritis, berbasis pengetahuan, serta menjunjung etika akademik.

Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya menghasilkan lulusan, tetapi juga mencetak warga negara yang mampu berpikir reflektif dan bertindak transformatif. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya menjadi aktor lapangan dalam demonstrasi, tetapi juga pengawal nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.

Daftar Pustaka

  1. Dahl, R. A. (1989). Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press.
  2. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
  3. Soedjatmoko. (1995). Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
  4. Heryanto, A., & Hadiz, V. R. (2005). Pop Culture and Politics in Indonesia. Routledge.
  5. Aspinall, E. (2013). “A Nation in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia.” Critical Asian Studies, 45(1), 27–54.
  6. Nugroho, R. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
  7. McAdam, D., Tarrow, S., & Tilly, C. (2001). Dynamics of Contention. Cambridge: Cambridge University Press.

*Muhtyas Yugi, S.Kom, Penulis adalah Sekretaris Prodi Teknik Informatika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *