Stmikkomputama.ac.id – Perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah menjadi salah satu fenomena transformatif abad ke-21. Teknologi ini tidak hanya mengubah cara manusia berinteraksi dengan mesin, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan spiritual.
Dalam menghadapi era disrupsi teknologi ini, Islam menawarkan perspektif unik yang menggabungkan prinsip etika, spiritualitas, dan hukum ilahi untuk memandu perkembangan AI agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Paradigma Islam terhadap AI bukanlah penolakan terhadap kemajuan, tetapi seruan untuk memastikan bahwa inovasi teknologi digunakan untuk kemaslahatan umat manusia dan tidak melanggar batasan-batasan yang ditetapkan oleh syariat.
1. AI dalam Sorotan Islam: Antara Peluang dan Tantangan
AI telah membawa banyak manfaat, seperti efisiensi dalam industri, kemajuan dalam layanan kesehatan, dan peningkatan produktivitas. Namun, di balik potensinya yang besar, AI juga menimbulkan kekhawatiran terkait etika, privasi, dan dampak sosial. Dalam perspektif Islam, teknologi adalah alat yang dapat digunakan untuk baik atau buruk, tergantung pada niat dan cara penggunaannya. Islam mendorong umatnya untuk memanfaatkan teknologi selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, seperti keadilan, transparansi, dan penghindaran terhadap bahaya (ḍarar). Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi yang bertugas memakmurkan dunia dengan cara yang bertanggung jawab dan beretika .
2. Konsep Khalifah dan Tanggung Jawab Manusia
Dalam Islam, manusia adalah khalifah (wakil Allah) di bumi, yang diberi mandat untuk mengelola dunia dengan bijaksana. Hal ini mencakup pengembangan teknologi seperti AI, asalkan digunakan untuk tujuan yang baik dan tidak menimbulkan kerusakan (fasād). AI harus dilihat sebagai alat untuk membantu manusia menjalankan perannya sebagai khalifah, bukan sebagai pengganti peran manusia dalam mengambil keputusan moral dan spiritual. Sebagai contoh, AI dapat digunakan untuk memprediksi bencana alam, mengoptimalkan distribusi sumber daya, atau meningkatkan akses pendidikan, sehingga berkontribusi pada kemaslahatan umat .
3. Prinsip Maqasid Syariah sebagai Panduan Etis
Maqasid syariah (tujuan-tujuan syariah) merupakan kerangka etika Islam yang berfokus pada perlindungan lima hal fundamental: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks AI, prinsip ini dapat diterapkan untuk memastikan bahwa teknologi tersebut tidak mengancam nilai-nilai inti Islam. Misalnya, AI tidak boleh digunakan untuk menyebarkan misinformation yang merusak akidah, atau untuk mengembangkan sistem yang mengikis hak privasi dan keamanan individu. Sebaliknya, AI harus dirancang untuk melindungi nyawa (seperti dalam aplikasi medis), memelihara akal (seperti dalam pendidikan), dan menjunjung keadilan ekonomi .
4. Niat (Niyyah) dan Integritas Moral
Islam menekankan pentingnya niat dalam setiap tindakan. Pengembangan dan penggunaan AI harus didasarkan pada niat yang tulus untuk kemaslahatan manusia, bukan hanya untuk keuntungan materi atau kekuasaan. Selain itu, integritas moral harus menjadi pondasi dalam desain AI, terutama dalam menghindari kecurangan, manipulasi, atau penyebaran kebohongan. AI yang dirancang untuk menipu atau memanipulasi—seperti deepfake yang menyebar hoaks—bertentangan dengan prinsip kebenaran (ṣidq) yang dijamin dalam Islam .
5. AI dan Ritual Keagamaan: Batasan-Batasan Spiritual
Salah satu pertanyaan kritis dalam diskusi Islam dan AI adalah apakah AI dapat terlibat dalam ritual keagamaan, seperti memimpin shalat atau memberikan fatwa. Menurut perspektif Islam, ritual ibadah memerlukan niat, kesadaran spiritual, dan tanggung jawab moral yang hanya dimiliki oleh manusia. AI tidak memiliki hati (qalb) yang merupakan pusat kesadaran spiritual dan moral dalam Islam. Oleh karena itu, AI tidak dapat menggantikan peran imam atau mufti, meskipun dapat digunakan sebagai alat pendukung, seperti aplikasi pengingat waktu shalat atau platform pembelajaran Quran .
6. Transparansi dan Akuntabilitas
Islam menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek kehidupan. Dalam konteks AI, ini berarti bahwa sistem AI harus dapat dijelaskan (explainable) dan tidak boleh menjadi “kotak hitam” yang mengambil keputusan tanpa pemahaman manusia. Prinsip ini selaras dengan konsep shura (musyawarah) dan hisab (pertanggungjawaban) dalam Islam. Pengembang AI harus memastikan bahwa algoritma mereka adil, tidak bias, dan terbuka untuk diawasi oleh komunitas dan regulator .
7. Menghindari Dehumanisasi dan Ketidakadilan
AI berpotensi menyebabkan dehumanisasi jika digunakan untuk menggantikan interaksi manusia secara berlebihan atau jika mengabadikan ketidakadilan sosial. Islam sangat menekankan martabat manusia (karāmah) dan keadilan. Oleh karena itu, AI harus dirancang untuk melayani manusia, bukan mengontrol atau mendiskriminasi mereka. Misalnya, sistem perekrutan berbasis AI yang bias terhadap kelompok tertentu bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam .
8. Perlindungan Data dan Privasi
Privasi adalah hak fundamental dalam Islam. AI seringkali mengumpulkan dan menganalisis data pribadi, yang dapat disalahgunakan jika tidak dilindungi dengan baik. Islam mengajarkan bahwa menyebarkan informasi pribadi tanpa izin adalah pelanggaran. Karena itu, pengembangan AI harus memprioritaskan keamanan data dan privasi pengguna, sesuai dengan prinsip hijab (penjagaan aurat) dan etika informasi dalam syariat .
9. Peran Ulama dan Ilmuwan dalam Memandu Perkembangan AI
Ulama dan cendekiawan Muslim memiliki peran penting dalam memastikan bahwa AI berkembang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kolaborasi antara ahli teknologi, etika, dan ulama diperlukan untuk menciptakan panduan etis AI yang komprehensif. Pendekatan ijtihad (penalaran independen) dapat digunakan untuk menjawab tantangan baru yang ditimbulkan oleh AI, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariah .
10. AI dan Masa Depan Umat Islam
Umat Islam harus aktif terlibat dalam pengembangan AI agar tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga kontributor yang membentuk teknologi ini dengan nilai-nilai Islam. Negara-negara Muslim, seperti Uni Emirat Arab dan Malaysia, telah mulai mengintegrasikan AI dalam kerangka halal dan etika Islam. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa AI tidak dikuasai oleh nilai-nilai sekuler yang mungkin bertentangan dengan Islam .
11. Keseimbangan antara Innovation dan Regulation
Islam mendorong inovasi selama tidak melanggar etika. Karena itu, regulasi AI diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan, tetapi tidak boleh terlalu membatasi sehingga menghambat kreativitas. Regulasi harus berdasarkan pada prinsip maslahah (kemanfaatan umum) dan sadd al-dharā’iʿ (mencegah jalan menuju bahaya) .
12. Pendidikan AI yang Berbasis Nilai Islam
Pendidikan AI harus integratif, menggabungkan pelajaran teknikal dengan etika Islam. Institusi pendidikan Muslim perlu mengembangkan kurikulum yang mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan AI dengan landasan spiritual dan moral yang kuat .
13. AI dan Global Ummah
AI dapat digunakan untuk memperkuat persatuan umat Islam global, misalnya melalui platform yang menghubungkan scholar dari berbagai belahan dunia atau sistem yang memfasilitasi zakat dan wakaf secara transparan. Namun, umat Islam juga harus waspada terhadap risiko AI yang digunakan untuk memecah belah atau mempromosikan nilai-nilai yang tidak islami .
Kesimpulan: Menuju AI yang Beretika dan Manusiawi
Paradigma Islam terhadap AI adalah pendekatan yang seimbang, yang mengakui potensi besar teknologi ini sambil mengingatkan akan tanggung jawab manusia sebagai khalifah. AI harus dikembangkan dengan niat baik, transparansi, dan keadilan, serta tidak boleh mengabaikan dimensi spiritual manusia.
Penutup: Masa Depan AI dalam Islam
Masa depan AI dalam Islam akan ditentukan oleh kemampuan umat untuk menggabungkan innovation dengan nilai-nilai abadi yang ditetapkan oleh syariat. Dengan kolaborasi antara ahli teknologi, ulama, dan masyarakat, AI dapat menjadi alat untuk memajukan peradaban Islam yang inklusif dan beretika.
*Kuswantoro, M.Pd – Penulis adalah Dosen Islamic Studies STMIK Komputama Majenang