Masa Keemasan Khulafaur Rasyidin
Sejarah Islam memberikan bukti nyata tentang keberhasilan model negara maju yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Era Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali RA) adalah prototype pertama. Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab RA, kekhalifahan mencapai puncak kejayaannya. Pilar utamanya adalah keadilan yang absolut. Umar menjalankan prinsip musyawarah, memerintah dengan sangat sederhana, dan memastikan baitul mal (kas negara) dikelola dengan transparan untuk kesejahteraan rakyat. Infrastruktur seperti kanal, jalan, dan sistem irigasi dibangun. Penaklukan wilayah bukan untuk penjajahan, tetapi untuk menyebarkan keadilan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Stabilitas politik dan keamanan terwujud sehingga perdagangan dan ilmu pengetahuan berkembang. Ini membuktikan bahwa penerapan nilai-nilai Islam yang utama dapat menciptakan negara yang maju dan beradab.
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
Puncak keemasan peradaban Islam berikutnya terjadi pada masa Dinasti Umayyah di Damaskus dan terutama Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Di bawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, Al-Ma’mun, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia, sebuah superpower yang tidak tertandingi pada masanya. Kemajuan material sangatlah nyata: perekonomian berbasis dinar yang stabil menjadi mata uang global, pertanian maju dengan sistem irigasi canggih, dan industri kerajinan serta perdagangan internasional sangat berkembang. Namun, yang lebih mengesankan adalah kemajuan non-materialnya. Baitul Hikmah didirikan sebagai universitas, pusat penerjemahan, dan perpustakaan terbesar di dunia. Ilmuwan seperti Ibnu Sina (kedokteran), Al-Khawarizmi (matematika/aljabar), Al-Kindi (filsafat), dan Al-Biruni (astronomi) muncul dari rahim peradaban ini. Mereka berhasil mengintegrasikan iman dan ilmu, wahyu dan akal, sehingga melahirkan renaissance pengetahuan yang menjadi fondasi bagi kebangkitan Eropa di kemudian hari. Kemajuan ini lahir karena dukungan negara terhadap ilmu pengetahuan dan kebebasan berfikir dalam koridor yang tidak bertentangan dengan aqidah.
Kesultanan Utsmaniyah dan Andalusia
Dua contoh lain adalah Kesultanan Utsmaniyah di Turki dan Keamiran Islam di Andalusia (Spanyol). Utsmaniyah selama berabad-abad menjadi negara adidaya dengan militernya yang kuat, sistem administrasi yang teratur, dan arsitektur yang megah. Mereka menguasai teknologi militer dan membangun infrastruktur sosial seperti kompleks masjid, pemandian umum, rumah sakit, dan pasar yang tertata rapi (kulliye). Sementara itu, di Andalusia, kota-kota seperti Cordoba, Granada, dan Sevilla menjadi simbol toleransi dan kemajuan multi-budaya. Jalan-jalan di Cordoba telah diterangi lampu sementara London masih gelap gulita. Perpustakaannya menampung ratusan ribu buku. Umat Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan dan berkontribusi bersama dalam ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat. Kedua peradaban ini menunjukkan bahwa negara Islam yang maju adalah negara yang inklusif, menguasai teknologi, dan mempromosikan kehidupan yang harmonis.
Potensi Indonesia menjadi Negara Maju; Kekuatan Demografi dan Sumber Daya Alam
Beralih ke konteks Indonesia, peluang untuk menjadi negaramaju yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam sangatlah besar. Pertama, dari aspek demografi, Indonesia memiliki bonus demografi yang merupakan potensi luar biasa. Jumlah penduduk usia produktif yang besar, jika disertai dengan investasi pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, akan menjadi mesin pertumbuhan yang dahsyat. Kedua, Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, dari hasil tambang, pertanian, kelautan, hingga energi terbarukan, memberikan modal dasar untuk kemandirian ekonomi. Dalam perspektif Islam, SDA adalah amanah Allah yang harus dikelola secara adil dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat, bukan dieksploitasi untuk keuntungan korporasi asing atau segelintir orang.
Landasan Spiritual dan Budaya
Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki landasan spiritual dan budaya yang kuat. Nilai-nilai keislaman yang moderat (wasathiyah) yang berpadu dengan kearifan lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan keramahan dapat menjadi pondasi karakter bangsa yang unggul. Semangat untuk beramal, sedekah, dan mengelola zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang sangat besar potensinya dapat menjadi instrument powerful untuk mengentaskan kemiskinan dan membiayai pembangunan sosial secara mandiri, merealisasikan prinsip keadilan sosial dalam Islam. Modal sosial dan spiritual ini adalah keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.
Perkembangan Demokrasi dan Ekonomi Syariah
Perkembangan demokrasi dan ekonomi syariah juga menjadi peluang signifikan. Demokrasi, dengan prinsip musyawarah dan kontrol sosial, sejalan dengan prinsip syura dalam Islam. Meski masih banyak tantangan, ruang untuk berpartisipasi dan mengawal kebijakan publik semakin terbuka. Di sisi ekonomi, Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam keuangan dan ekonomi syariah global. Perbankan syariah, pariwisata halal, industri halal food dan fashion, serta fintech syariah berkembang pesat. Ekonomi syariah tidak hanya menjamin halalnya transaksi, tetapi juga berorientasi pada keadilan, etika, dan dampak sosial yang positif, yang merupakan ciri dari ekonomi negara maju ala Islam.
Tantangan yang Harus Diatasi
Namun, peluang tersebut harus berhadapan dengan tantangan yang sangat berat. Pertama, mentalitas koruptif yang masih menggerogoti birokrasi dan dunia usaha, bertolak belakang dengan prinsip amanah. Kedua, kesenjangan ekonomi yang lebar antara kaya dan miskin, serta antara Jawa dan luar Jawa, yang mengingkari prinsip keadilan. Ketiga, kualitas pendidikan yang masih rendah dan belum sepenuhnya membangun karakter dan akhlak peserta didik. Keempat, degradasi moral dan merebaknya intoleransi dalam level tertentu yang mengancam kerukunan. Kelima, eksploitasi SDA yang tidak berkelanjutan dan merusak lingkungan.
Rekomendasi dan Langkah Strategis
Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara maju berlandaskan nilai-nilai keislaman, diperlukan langkah-langkah strategis dan berani. Pertama, penguatan pendidikan integratif yang memadukan keunggulan sains-teknologi dengan pembentukan akhlak mulia dan spiritualitas. Kedua, penegakan hukum yang adil dan tanpa tebang pilih untuk memberantas korupsi dan kezaliman. Ketiga,penguatan ekonomi kerakyatan dan syariah yang inklusif dan berkeadilan, dengan mendorong koperasi. Keempat, optimalisasi pengelolaan ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, Wakaf) untuk jaring pengaman sosial dan pembangunan berkelanjutan. Kelima, pelestarian lingkungan berdasarkan prinsip kekhalifahan di muka bumi, yaitu memakmurkan dan tidak merusak.
Menuju Indonesia yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
Kesimpulannya, konsep negara maju dalam Islam jauh lebih holistik dan bermartabat. Ia tidak hanya mengejar kebendaan, tetapi juga ketinggian akhlak, keadilan, dan spiritualitas. Sejarah telah membuktikan bahwa integrasi antara iman dan ilmu, dunia dan akhirat, mampu melahirkan peradaban yang gemilang dan menjadi mercusuar dunia. Indonesia memiliki semua potensi untuk mewujudkannya: SDA yang melimpah, SDM yang besar, dan nilai-nilai spiritual yang kuat. Tantangannya ada pada konsistensi, political will, dan komitmen kolektif untuk membangun peradaban yang tidak hanya “modern” dalam arti Barat, tetapi “maju” dalam arti Islami. Cita-cita mulia itu tertuang dalam doa yang diajarkan Al-Qur’an: “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” (negeri yang baik dan Allah Maha Pengampun) (QS. Saba’: 15). Sebuah negeri yang damai, sejahtera, penuh berkah, dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Itulah hakikat negara maju sejati yang harus diperjuangkan.
*Penulis: Kuswantoro, M.Pd. (Dosen Islamic Studis STMIK Komputama Cilacap
Referensi:
- Al-Qur’an Al-Karim.
- Chapra, M. Umer. (2008). Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform. Islamic Foundation.
- Al-Faruqi, Ismail Raji. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. International Institute of Islamic Thought.
- Karim, Adiwarman A. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Rajawali Pers.
- Lewis, Bernard. (2002). What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East. Harper Perennial.
- Naqvi, Syed Nawab Haider. (2003). Perspectives on Morality and Human Well-Being: A Contribution to Islamic Economics. Islamic Foundation.
- UNDP. (2020). Human Development Report 2020.
- World Bank. (2023). World Development Indicators 2023.
- Zaman, Asad. (2021). The Role of Ethics in Islamic Economics. Palgrave Macmillan.
- Kronologi sejarah Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah dari berbagai sumber tepercaya seperti The Cambridge History of Islam dan karya-karya sejarawan terkemuka.