Home » article » Mengkode Makna: Dari Kesalahan Menuju Kejelasan

Mengkode Makna: Dari Kesalahan Menuju Kejelasan

Semakin canggih teknologi, semakin banyak kemudahan yang ditawarkan. Namun kemudahan ini datang bersama tantangan baru: […]

Semakin canggih teknologi, semakin banyak kemudahan yang ditawarkan. Namun kemudahan ini datang bersama tantangan baru: bagaimana manusia memaknainya. Pengembangan perangkat lunak tidak lagi semata-mata hanya urusan teknis, melainkan menjelma menjadi sebuah refleksi atas bagaimana mereka mengelola kesalahan, berusaha menciptakan keteraturan dalam dunia yang begitu dinamis dan cepat, sebagai upaya menuju harapan yang dicita-citakan.

Test Driven Development (TDD) dan Behavior Driven Development (BDD)–dua pendekatan yang sering digunakan untuk mengembangkan perangkat lunak, yang tidak hanya memberi panduan teknis para pengembang, namun mencerminkan cara berpikir manusia terhadap kompleksitas yang ada.

TDD bukan sekadar praktik menulis test terlebih dahulu. Ia merupakan bentuk disiplin mental yang menempatkan kesalahan di awal bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai fondasi pembelajaran. Dengan menuliskan test sebelum kode utama dibuat, pengembang seperti sedang melakukan perenungan tentang apa sebenarnya yang ingin dicapai, dan seperti apa bentuk minimum dari “benar” yang bisa diuji?

Pendekatan ini berputar dalam tiga fase: Red, Green, dan Refactor.

  • Red merupakan fase di mana test dengan sengaja digagalkan, sebuah pengakuan jujur bahwa sistem belum sempurna dan masih tahap awal pengembangan.
  • Green, ketika kode ditulis agar test dapat lulus dan berjalan dengan baik mengatasi kekurangan yang sebelumnya dibuat sebagai tindakan afirmatif.
  • Refactor, fase penyempurnaan yang menuntut keberanian untuk merombak sistem yang tengah berjalan tanpa mengubah makna yang ada di dalamnya.

Dengan TDD, kualitas tidak dianggap sebagai hasil semata, melainkan dari proses yang cukup berliku. Kode yang lahir darinya cenderung bersih, modular, dan mudah dirawat, seperti taman yang tumbuh indah karena dirawat, bukan dibiarkan liar. Sebagai konsekuensinya TDD membutuhkan waktu layaknya menanam pohon. Ia melambatkan langkah di awal sebagai bayaran untuk pondasi yang kuat demi kejelasan dan ketahanan di kemudian hari. TDD mengajarkan ketekunan di dunia yang mengelu-elukan kecepatan.

Berbeda dari TDD yang berangkat dari dalam sistem, BDD memulai dari luar; dari perilaku yang diharapkan oleh pengguna. Bukan hanya metodologi, tapi sebuah narasi yang mengajak kita menuliskan cerita. Dengan struktur Given-When-Then melatih memahami harapan manusia beserta prosesnya.

Di sini, bahasa menjadi alat pemersatu antara pengembang, pemilik produk, analis bisnis, dan pengguna. BDD menjunjung tinggi komunikasi lintas peran, supaya sistem yang berjalan harmonis. BDD menyiratkan bahwa perangkat lunak bukan sekadar struktur logika yang berisi kumpulan kode yang begitu rumit, tetapi sebuah refleksi harapan manusia yang selalu memiliki makna mekipun tidak selalu rasional.

BDD sangat cocok dalam lingkungan Scrum, di mana user story menjadi pusat dialog. Skenario-skenario yang dihasilkan tidak hanya bisa diuji mesin, tetapi dipahami oleh manusia. Ini merupakan upaya untuk melakukan demokritasisasi pengetahuan teknis, mengundang bagian non-teknis masuk ke dalam proses perancangan sistem.

Tentunya terdapat beban yang harus ditanggung. Ia memerlukan alat bantu tambahan, waktu ekstra untuk menyusun skenario, dan yang paling krusial yaitu komunikasi yang terjalin antar pihak untuk mencapai kesepakatan dan membentuk satu pemahaman yang sama. BDD bergantung pada kemampuan tim untuk mendefinisikan makna secara kolektif, dan itu bukan hal yang mudah. Apabila komunikasi kabur, skenario justru menjadi semakin berkabut.

Pikiran manusia secara spontan seringkali membandingkan secara biner, mana yang lebih baik? Padahal keduanya menjawab pertanyaan yang berbeda. TDD menanyakan, apakah sistem ini bekerja sebagaimana diminta? Sementara BDD bertanya, apakah sistem ini melakukan apa yang manusia harapkan?

Keduanya bisa berjalan berdampingan. Dalam praktik pengembangan berbasis Scrum, misalnya, tim bisa menyusun skenario BDD untuk menggambarkan perilaku sistem secara menyeluruh, kemudian menuliskan unit test (TDD) pada bagian-bagian penting untuk menjamin stabilitas dan skalabilitas. Keduanya bekerja sama untuk menyusun cerita dan kerangka logika yang kokoh untuk membangun sistem yang layak.

Namun perpaduan kerja sama TDD dan BDD juga memerlukan sumber daya waktu, kejelian, dan tim yang terbiasa berpikir lintas lapisan, dari kode, ke komunikasi, ke makna. Menyulam wilayah ontologis, epistemogis, etis, dan sosiologis ke dalam sebuah perangkat lunak.

Pada akhirnya, baik TDD maupun BDD mengingatkan kita bahwa perangkat lunak bukanlah entitas yang netral. Ia dibentuk oleh nilai-nilai, budaya tim, serta harapan yang tersampaikan baik secara verbal maupun non-verbal. Memilih pendekatan bukan hanya soal efisiensi teknis, tapi juga tentang siapa kita sebagai pengembang, bagaimana kita memahami tanggung jawab kita, dan apa yang kita yakini sebagai pegangan untuk menentukan keberhasilan.

TDD mengajarkan kita untuk berdisiplin dalam sunyi, menata logika dengan sabar, menghargai proses kecil yang benar, dan menciptakan pondasi sistem yang kuat. Di samping itu, BDD mengajak kita untuk berbicara, mendengar, dan membangun kesadaran kolektif untuk menemukan identitas melalui bahasa yang inklusif. Tidak kalah penting, keduanya mengajarkan bahwa terdapat manusia yang berupaya memahami dunia dan membentuknya kembali melalui logika dan imajinasi.

*Amarulloh M Khoeri, S.Kom, Penulis adalah Alumnus STMIK Komputama Cilacap Prodi Teknik Informatika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

STMIK komputama Majenang