- Keterbatasan Waktu dan Kurikulum yang Padat: Kurikulum yang sudah ada terasa sangat padat, sehingga sulit untuk menambahkan mata pelajaran baru tanpa membebani siswa dan guru.
- Solusi: Alih-alih menjadikan koding dan AI sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, diperlukan integrasi lintas-disiplin. Misalnya, koding dapat digunakan untuk menganalisis data dalam pelajaran IPA atau membuat visualisasi dalam pelajaran Matematika, sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan efektif.
- Biaya Implementasi yang Tinggi: Pengadaan perangkat keras, software berlisensi, dan biaya pelatihan guru membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, menjadi kendala bagi sekolah dengan dana terbatas.
- Solusi: Mendorong kemitraan publik-swasta dengan perusahaan teknologi untuk mendapatkan donasi perangkat keras atau akses gratis ke platform pembelajaran. Pemanfaatan software dan sumber belajar open-source juga dapat menjadi alternatif untuk menekan biaya.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap tantangan ini dan penerapan solusi yang sistematis, program pembelajaran koding dan AI dapat berhasil diimplementasikan secara merata, memastikan setiap siswa di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari masa depan digital.
*Penulis adalah Ketua STMIK Komputama Cilacap
Sumber Referensi
Artikel ini disusun berdasarkan poin-poin penting dari naskah akademik berikut:
- Judul: Naskah Akademik: Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasar dan Menengah
- Penerbit: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Republik Indonesia
- Tahun: Februari, 2025
Referensi tambahan:
- Wing, J. M. (2006). Computational thinking. Communications of the ACM, 49(3), 33-35.
- World Bank. (2021). Bukan Sekedar Unicorn: Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia.
- World Economic Forum. (2023). Future of Jobs Report 2023.