Universitas Komputama – Syariah Islam seringkali dipersepsikan secara sempit sebagai sekumpulan hukum dan aturan rigid yang mengatur kehidupan manusia. Persepsi ini mengabaikan dimensi filosofis dan teleologis (tujuan akhir) yang menjadi jiwa dari setiap hukum tersebut.
Memahami syariah hanya dari sisi “apa” (what) tanpa memahami “mengapa” (why) akan menjerumuskan pada legalisme formalistik yang kering dan kehilangan relevansinya dengan dinamika zaman. Di sinilah Maqashid Syariah (Tujuan-Tujuan Syariah) menempati posisi sentral.
Maqashid Syariah adalah disiplin ilmu yang menjawab pertanyaan “mengapa” Allah SWT menetapkan suatu hukum. Ia adalah jantung dari syariah itu sendiri, yang berfungsi untuk melindungi kemaslahatan umat manusia (jalb al-mashalih) dan menolak kerusakan (dar’ al-mafasid).
Artikel ini bermaksud untuk menjelaskan secara komprehensif konsep Maqashid Syariah, kemudian mengelaborasikannya ke dalam dua ranah utama kehidupan Muslim: Ibadah (hubungan vertikal dengan Allah) dan Muamalah (hubungan horizontal dengan sesama manusia).
Dengan pendekatan Maqashid, kita akan melihat bahwa kedua ranah ini bukanlah dua domain yang terpisah, tetapi saling terhubung dalam sebuah visi besar untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat, adil, dan penuh rahmat.
- Pengertian dan Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
- Definisi Maqashid Syariah
Secara etimologis, “maqashid” adalah bentuk jamak dari “maqshad” yang berarti tujuan, maksud, atau sasaran. Sedangkan “syariah” secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Secara terminologis, syariah merujuk pada hukum dan jalan hidup yang diturunkan Allah SWT. Jadi, Maqashid Syariah dapat didefinisikan sebagai tujuan-tujuan, hikmah, dan rahasia di balik pensyariatan hukum Islam, yang ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H), salah satu arsitek utama teori Maqashid, mendefinisikannya sebagai “tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum (Allah SWT) untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya.” Tujuan-tujuan ini bersifat universal, pasti (qat’i), dan menjadi roh dari seluruh hukum Islam.
- Kilas Balik Sejarah: Dari Impilisit ke Eksplisit
Meskipun istilah “Maqashid Syariah” baru populer pada abad-abad pertengahan, esensinya telah ada sejak awal turunnya Al-Qur’an.
Masa Nabi Muhammad SAW: Praktik Nabi menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap tujuan hukum. Kebijakannya selalu mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Masa Sahabat: Para sahabat seperti Umar bin Khattab RA terkenal dengan ijtihadnya yang sangat memperhatikan semangat hukum, bukan hanya teks. Contohnya, kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri pada masa paceklik, karena kondisi darurat (menjaga jiwa) lebih utama.
Formalisasi Awal: Imam al-Juwayni (w. 478 H) dalam karyanya Al-Burhan mulai merumuskan kemaslahatan menjadi tiga level: dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier). Gagasan ini kemudian disempurnakan oleh muridnya, Imam al-Ghazali (w. 505 H).
Puncak Teoritis: Imam al-Syatibi dalam magnum opus-nya, Al-Muwafaqat, berhasil membangun teori Maqashid Syariah yang sistematis dan koheren. Dialah yang menegaskan bahwa seluruh syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia danakhirat bagi manusia.
Era Kontemporer: Tokoh seperti Muhammad al-Tahir ibn Ashur (w. 1973) dari Tunisia dan Jasser Auda memperbarui dan mengkontekstualisasikan Maqashid untuk menjawab tantangan modern. Ibn Ashur, dalam Maqasid al-Shariah al-Islamiyyah, bahkan memperluas cakupan Maqashid hingga mencakup kebebasan, keadilan, dan tata kelola yang baik.
- Klasifikasi Maqashid Syariah
Maqashid Syariah umumnya diklasifikasikan menjadi tiga tingkat berdasarkan tingkat urgensi kemaslahatannya:
- Al-Dharuriyyat (Kemaslahatan Primer):Hal-hal yang mutlak diperlukan untuk menegakkan kehidupan dan agama manusia. Jika kelima unsur ini hilang, kehidupan dunia akan kacau dan keselamatan akhirat terancam. Ini akan dibahas secara detail pada bagian selanjutnya.
- Al-Hajiyyat (Kemaslahatan Sekunder):Hal-hal yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan dan menegakkan kemudahan, meskipun tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan. Contohnya: rukhsah (keringanan) seperti berbuka puasa saat sakit atau musafir, jual beli salam (pesanan), dan lain-lain.
- Al-Tahsiniyyat (Kemaslahatan Pelengkap/Tersier):Hal-hal yang bertujuan untuk mewujudkan akhlak yang mulia dan meningkatkan kualitas hidup. Contohnya: adab-adab makan, berpenampilan rapi, menghindari perbuatan yang kotor namun tidak haram.
- Al-Dharuriyyat al-Khams (Lima Kemaslahatan Primer): Pilar Utama Maqashid
Lima prinsip dasar ini merupakan fondasi bagi seluruh bangunan hukum Islam. Setiap hukum, baik dalam ibadah maupun muamalah, pada akhirnya bermuara pada perlindungan terhadap salah satu atau lebih dari kelima hal ini.
- Hifzh al-Din (Menjaga Agama)
Ini adalah maqshad tertinggi, karena menyangkut hubungan manusia dengan Penciptanya. Syariah hadir untuk melindungi hak setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agamanya dengan bebas dari paksaan (QS. Al-Baqarah: 256).
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut79) dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
79) Kata tagut disebutkan untuk setiap yang melampaui batas dalam keburukan. Oleh karena itu, setan, dajal, penyihir, penetap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Swt., dan penguasa yang tirani dinamakan tagut.
Hukum-hukum seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji, serta larangan riddah (murtad) dalam kondisi tertentu (yang bisa mengancam stabilitas komunitas Muslim), ditujukan untuk melindungi eksistensi dan kemurnian agama.
- Hifzh al-Nafs (Menjaga Jiwa)
Syariah menempatkan nyawa sebagai sesuatu yang suci dan harus dilindungi (QS. Al-Ma’idah: 32).
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِىالْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
Artinya: Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.211) Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.
211) Maksudnya, membunuh seorang manusia sama dengan menghalalkan pembunuhan terhadap seluruh manusia. Sebaliknya, menjaga kehormatan seorang manusia sama dengan menjaga kehormatan seluruh manusia.
Hukum qishash (pembalasan setimpal) untuk pembunuhan sengaja bertujuan untuk melindungi nyawa kolektif dengan memberikan efek jera. Di sisi lain, syariah juga membuka pintu maaf dan diyat (tebusan) yang menunjukkan fleksibilitas untuk mencapai keadilan restoratif. Aturan-aturan tentang makanan halal dan thayyib, larangan bunuh diri, dan kewajiban berobat juga bagian dari penjagaan terhadap jiwa.
- Hifzh al-‘Aql (Menjaga Akal)
Akal adalah karunia Allah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Syariah melindungi akal dari segala sesuatu yang dapat merusaknya. Larangan khamr (minuman keras) dan narkoba adalah implementasi langsung dari prinsip ini. Selain itu, syariah mendorong pendidikan, penalaran, dan ijtihad, yang semuanya merupakan aktualisasi dari fungsi akal yang sehat.
- Hifzh al-Nasl (Menjaga Keturunan)
Prinsip ini bertujuan untuk melindungi institusi keluarga dan kelangsungan generasi manusia secara terhormat. Hukum pernikahan, larangan zina, dan aturan tentang nasab (keturunan) dirancang untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi pertumbuhan anak. Wasiat dan waris juga bertujuan untuk menjaga harta benda tetap dalam lingkaran keluarga yang sah.
- Hifzh al-Mal (Menjaga Harta)
Harta adalah sarana untuk menegakkan kehidupan. Syariah mengakui kepemilikan individu, tetapi dengan tanggung jawab sosial. Larangan mencuri, perampokan, penipuan, dan riba bertujuan untuk melindungi hak milik. Di sisi lain, syariah mewajibkan zakat, menganjurkan infak dan sedekah, untuk memastikan sirkulasi harta dan mencegah penumpukan pada segelintir orang.
- Integrasi dan Hierarki Kelima Prinsip Dasar
Kelima prinsip ini saling terkait dan membentuk sebuah sistem yang holistik. Terkadang terjadi konflik antar maqashid, dan di sinilah ilmu ini memainkan perannya. Sebagai contoh, dalam kondisi darurat medis, seorang Muslim diperbolehkan berbuka puasa Ramadhan (mengorbankan sebagian dari Hifzh al-Din) untuk menyelamatkan jiwa (Hifzh al-Nafs). Ini menunjukkan adanya hierarki dimana Hifzh al-Nafs seringkali didahulukan ketika berhadapan dengan ancaman yang langsung.
- Prinsip-Prinsip Ibadah dalam Bingkai Maqashid Syariah
- Hakikat Ibadah: Tauhid dan Penghambaan
Ibadah, secara etimologi, berarti penghambaan dan ketundukan. Secara terminologis, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baikberupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Tujuan utama ibadah adalah untuk merealisasikan tauhid, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah SWT satu-satunya yang berhak disembah.
- Karakteristik Ibadah: Taufiqiyyah, Itsbatiyyah, dan Ta’abbudiyyah
Berbeda dengan muamalah, ibadah memiliki karakteristik khusus:
Taufiqiyyah: Artinya, bentuk dan tata caranya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Manusia tidak boleh beribadah kepada Allah berdasarkan akal dan logika semata. Prinsipnya adalah “al-ashlu fi al-‘ibadah al-haram hatta yadulla al-dalil ‘ala al-amr” (Hukum asal dalam ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya).
Itsbatiyyah (Positif): Ibadah harus berdasarkan pada perintah (amr) dari Allah dan Rasul-Nya. Ia bersifat menerima (acceptance) tanpa boleh ada inovasi (bid’ah) dalam pokok-pokoknya.
Ta’abbudiyyah (Pengabdian Murni): Ibadah dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan total, meskipun akal manusia tidak selalu dapat menjangkau hikmah di baliknya sepenuhnya. Unsur “misteri” ini melatih keimanan dan ketundukan.
- Maqashid di Balik Ritual Ibadah
Meski bersifat ta’abbud, setiap ibadah sarat dengan hikmah dan tujuan yang dapat dipahami oleh akal, yang sejalan dengan Maqashid Syariah.
Maqashid Shalat: Shalat bukan hanya gerakan dan bacaan. Tujuannya adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut: 45).
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Artinya: “Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,”.
Dengan disiplin waktu, shalat melatih manajemen waktu. Dengan gerakan yang tertib, ia melatih kedisiplinan. Dengan berjamaah, ia memperkuat solidaritas sosial (Hifzh al-Nasl). Ia adalah sarana komunikasi spiritual langsung dengan Allah (Hifzh al-Din) sekaligus momen relaksasi dan meditasi bagi jiwa (Hifzh al-Nafs).
Maqashid Puasa: Tujuan puasa adalah untuk membentuk ketakwaan (QS. Al-Baqarah: 183).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
- Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Dengan menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, puasa melatih pengendalian diri (Hifzh al-‘Aql), empati terhadap kaum miskin (Hifzh al-Mal secara sosial), dan menyehatkan tubuh (Hifzh al-Nafs). Puasa adalah ibadah yang secara langsung melatih semua dimensi kemanusiaan.
Maqashid Zakat: Zakat bukan sekadar pajak, tetapi instrumen pembersih harta dan jiwa (QS. At-Taubah: 103).
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan332) dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,”.
332) Zakat membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta.
Ia secara langsungmewujudkan keadilan sosial dan redistribusi kekayaan (Hifzh al-Mal secara kolektif). Dengan mengurangi kesenjangan, zakat mencegah kecemburuan sosial dan konflik yang dapat mengancam jiwa dan keturunan (Hifzh al-Nafs wa al-Nasl).
Maqashid Haji: Haji adalah simbol persatuan umat Islam sedunia. Ibadah ini menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras, suku, dan status sosial (Hifzh al-Nasl dan al-Karamah al-Insaniyyah). Ritual seperti thawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah mengingatkan pada perjuangan Nabi Ibrahim AS dan keluarganya, memperkuat identitas keagamaan (Hifzh al-Din), dan merupakan latihan fisik dan mental yang dahsyat (Hifzh al-Nafs).
- Ibadah dan Pembentukan Karakter Individu (Al-Fard)
Pada level individu, seluruh ibadah bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa (muttaqin). Seorang yang konsisten dalam ibadah diharapkan akan menjadi individu yang jujur, disiplin, empatik, dan bertanggung jawab. Karakter inilah yang kemudian menjadi modal sosial untuk membangun masyarakat yang madani.
- Prinsip-Prinsip Muamalah dalam Bingkai Maqashid Syariah
- Hakikat Muamalah: Mengatur Hubungan Horizontal
Muamalah mengatur hubungan antar manusia dalam berbagai aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Berbeda dengan ibadah, wilayah muamalah sangat terbuka untuk perkembangan dan inovasi.
- Kaidah Dasar Muamalah: “Al-Ashl fi al-Mu’amalah al-Ibahah”
Kaedah fundamental dalam muamalah adalah “Hukum asal dalam segala bentuk muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya.” Ini adalah pintu ijtihad yang sangat lebar. Seluruh aktivitas bisnis, kontrak, dan transaksi baru dianggap halal selama tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang, seperti riba, gharar, dan penipuan.
- Prinsip-Prinsip Umum Muamalah
Prinsip-prinsip ini merupakan derivasi langsung dari Al-Dharuriyyat al-Khams.
Kerelaan (Al-Taradi): Transaksi harus didasarkan pada suka sama suka (QS. An-Nisa’: 29).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu,”.
Paksaan dalam jual beli merusak prinsip keadilan dan melanggar Hifzh al-Mal.
Kejujuran dan Menghindari Penipuan (Gharar): Gharar adalah ketidakpastian atau spekulasi berlebihan yang dapat menimbulkan sengketa. Larangan jual beli yang mengandung gharar (seperti menjual ikan yang masih di dalam laut) bertujuan untuk melindungi harta dari kerugian yang tidak jelas (Hifzh al-Mal) dan mencegah konflik (Hifzh al-Nafs).
Menghindari Riba dan Eksploitasi: Riba dilarang karena ia merupakan bentuk eksploitasi dan ketidakadilan. Ia memindahkan harta tanpa ada pertukaran nilai yang sepadan, sehingga memusatkan kekayaan dan melanggengkan kemiskinan. Larangan riba adalah pilar utama untuk mewujudkan keadilan ekonomi (Hifzh al-Mal secara adil).
Keadilan (Al-‘Adl): Keadilan adalah tema sentral dalam seluruh muamalah. Ini mencakupkeadilan dalam timbangan (QS. Al-Muthaffifin: 1-3),
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ
Artinya: Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! 2. (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. 3. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.
Keadilan dalam kontrak, dan keadilan sosial. Keadilan merupakan manifestasi dari semua Hifzh, terutama Hifzh al-Nafs dan Hifzh al-Mal.
- Aplikasi Maqashid dalam Muamalah Kontemporer
Maqashid Syariah menjadi kompas bagi pengembangan ekonomi dan keuangan Islam modern.
Ekonomi dan Keuangan Syariah: Produk-produk seperti sukuk (obligasi syariah), asuransi syariah (takaful), dan reksadana syariah dirancang tidak hanya untuk menghindari riba dan gharar, tetapi juga untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi tersebut berkontribusi pada pembangunan riil, pemerataan, dan etika bisnis (mewujudkan Hifzh al-Mal dan Hifzh al-Nasl).
Etika Bisnis dan Kontrak: Maqashid mendorong praktik bisnis yang etis: transparansi, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), perlindungan konsumen, dan perlakuan yang adil kepada pekerja. Semua ini adalah turunan dari prinsip keadilan dan kerelaan.
Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial: Konsep Hifzh al-Din sejalan dengan kebebasan beragama. Hifzh al-Nafs menjadi dasar penghormatan terhadap hak hidup dan larangan penyiksaan. Hifzh al-‘Aql mendukung kebebasan berpikir dan berpendapat. Hifzh al-Nasl melindungi hak-hak keluarga dan anak. Hifzh al-Mal menjamin hak kepemilikan yang adil. Dengan demikian, Maqashid Syariah sejalan dengan inti dari Deklarasi HAM Universal, tetapi dengan fondasi teosentris yang kuat.
- Dialektika Ibadah dan Muamalah: Sebuah Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Pembedaan antara ibadah dan muamalah adalah untuk memudahkan pemahaman, bukan untuk memisahkan. Dalam praktiknya, keduanya menyatu. Seorang pedagang yang jujur dalam muamalahnya, itu adalah ibadah. Seorang yang shalatnya khusyuk tetapi menipu dalam bisnis, maka shalatnya tidak mencapai maqashid sepenuhnya. Nabi SAW bersabda, “Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi).
Ibadah mahdhah (murni) seperti shalat memancarkan energi spiritual yang kemudian harus ditransformasikan menjadi energi sosial dalam muamalah. Sebaliknya, muamalah yang baik akan memberkahi kehidupan dan meningkatkan kualitas ibadah. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama: Islam.
- Maqashid Syariah di Era Kontemporer: Relevansi dan Tantangan
Di tengah kompleksitas masalah modern seperti bioteknologi (kloning, transplantasi organ), ekonomi global, dan perubahan lingkungan, Maqashid Syariah menawarkan pendekatan yang segar dan relevan.
Bioetika: Isu transplantasi organ dapat dianalisis dengan konflik antara Hifzh al-Nafs (menyelamatkan jiwa penerima) dan Hifzh al-Karamah al-Insaniyyah (menghormati jasad donor). Maqashid memberikan kerangka untuk menimbangnya dengan adil.
Ekologi: Kerusakan lingkungan (environmental degradation) adalah ancaman bagi Hifzh al-Nafs dan Hifzh al-Mal kolektif. Maqashid mendorong fikih ekologi (fiqh al-bi’ah) yang menekankan tanggungjawab manusia sebagai khalifah untuk menjaga bumi.
Tantangan: Tantangan terbesar adalah menjembatani antara teks-teks klasik dengan realitas baru. Selain itu, subjektivitas dalam menentukan “kemaslahatan” bisa berbahaya jika tidak didasarkan pada metodologi yang solid. Di sinilah peran ulama dan cendekiawan untuk terus melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i) berbasis Maqashid.
- Kesimpulan: Menemukan Kembali “Jiwa” Syariah
Maqashid Syariah bukanlah ilmu tambahan, melainkan jiwa dari seluruh hukum Islam. Dengan memahaminya, kita tidak lagi melihat syariah sebagai daftar perintah dan larangan yang kaku, tetapi sebagai sistem nilai yang dinamis, manusiawi, dan penuh rahmat. Ia mengajarkan kita bahwa tujuan akhir dari shalat, puasa, zakat, haji, jual beli, dan seluruh aktivitas kehidupan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan yang sejati sebuah kehidupan yang dilindungi agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya, menuju ridha Allah SWT.
Pendekatan Maqashid memungkinkan syariah untuk tetap shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap waktu dan tempat), karena ia berfokus pada tujuan universal dan nilai-nilai abadi yang selalu dibutuhkan oleh manusia, kapan pun dan di mana pun.
*Kuswantoro, M.PdI, Dosen Islamic Studies Universitas Komputama, Cilacap, Jawa Tengah
Daftar Pustaka
- Al-Syatibi, Abu Ishaq. (n.d.). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shariah. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
- Ibn Ashur, Muhammad al-Tahir. (2006). Treatise on Maqasid al-Shariah. (Mohamed El-Tahir El-Mesawi, Trans.). London: International Institute of Islamic Thought. (Karya asli diterbitkan 1946).
- Al-Zuhayli, Wahbah. (1985). Nazariyyat al-Darurah al-Shar’iyyah. Beirut: Mu’assasat al-Risalah.
- Auda, Jasser. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.
- Al-Qaradawi, Yusuf. (2001). Dirasah fi Fiqh Maqasid al-Shariah: Baina al-Maqasid al-Kulliyyah wa al-Nusus al-Juz’iyyah. Kairo: Dar al-Shuruq.
- Kamali, Mohammad Hashim. (2008). Sharī’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
- Chapra, M. Umer. (2008). The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid al-Shariah. Jeddah: Islamic Research and Training Institute (IRTI).