Banner Tarik Pameran Elektronik dan Teknologi Modern Biru dan Merah Muda (1)
Slide 3
Slide 2
KULIAH DI STMIK KOMPUTAMA MAJENANG
KULIAH GRATIS 100%

Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kamu bisa kuliah gratis 100% dan juga bisa dapat uang saku tiap bulan

Slide 1
“LOCAL CAMPUS GLOBAL VALUES”
Slide
previous arrow
next arrow

Kisah Gus Baha Jumatan yang Jamaahnya Hanya 20-an Orang, Cerita Lahirnya Fikih Husnudzon

Universitas Komputama – Suatu siang pada akhir 1990-an, di tengah perjalanan menuju Yogyakarta, KH Ahmad Bahauddin […]

KH Ahmad Bahauddi Nursalim (Gus Baha). (Foto: Istimewa – Tebuireng.online)


Universitas Komputama – Suatu siang pada akhir 1990-an, di tengah perjalanan menuju Yogyakarta, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, akrab disapa Gus Baha, berhenti di sebuah kampung kecil untuk sholat Jumat. Kampung itu sederhana, jamaahnya tak sampai dua puluh orang.

Kala itu, Gus Baha ditemani oleh dua santrinya. Mereka bertiga mendapati sang imam membaca surah Al-Fatihah dengan terbata-bata, suaranya lirih dan tampak kesulitan,

“Kayak orang mau melahirkan,” tutur Gus Baha suatu kali dengan tawa khasnya, dalam sebuah ceramah, dikutip dari YouTube, Kamis (8/10/2025).

Bagi banyak orang, kondisi seperti itu mungkin menjadi bahan keluhan, atau bahkan alasan untuk tak ikut berjamaah. Namun tidak bagi Gus Baha. Dengan kerendahan hati dan keluasan ilmunya, ia justru menemukan makna spiritual di balik kesederhanaan itu. Ia melihat bukan kekurangan, tetapi perjuangan dan ketulusan.

“Aku sing menungso, aku wae ora tega ora ngesahke, opo maneh Gusti Allah sing Rahman Rahim,” ucap Gus Baha dalam bahasa Jawa.

Maknanya kurang lebih, “Aku yang manusia saja tidak tega menganggap salat itu tidak sah, apalagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang,”.

Kearifan dan Kedalaman Pengetahuan Fikih

Kalimat itu bukan sekadar guyon khas santri, melainkan pancaran kearifan sufistik dan kedalaman fikih yang berbalut kasih sayang. Gus Baha menyebut pendekatannya “fikih husnudzan” — fikih yang berlandaskan prasangka baik.

Dia paham betul kaidah-kaidah hukum dari mazhab Hanafi yang sebenarnya bisa mengesahkan sholat itu secara formal, tetapi ia memilih menyampaikan dengan cara yang lebih lembut, lebih membumi, dan lebih menenangkan hati.

Di sinilah letak kejeniusan spiritual Gus Baha. Beliau tidak sekadar ahli dalam kitab kuning dan tafsir Al-Qur’an tingkat tinggi, tetapi juga mengerti bagaimana menerapkan ilmunya dalam realitas sosial umat yang beragam.

Dalam masyarakat yang kadang sibuk mengukur keimanan dari kesempurnaan bacaan atau kesesuaian mazhab, Gus Baha hadir membawa fikih welas asih—ajaran untuk melihat manusia dengan pandangan cinta, bukan penghakiman.

Cerita singkat itu seolah menjadi cermin dari watak keilmuan pesantren yang diwarisi Gus Baha: ilmu yang tinggi tapi rendah hati, tajam tapi lembut, berpijak pada nash namun menyapa realitas sosial.

Husnudzan dan Berbelaskasihan

Dalam dunia yang sering dipenuhi perdebatan tentang siapa yang paling benar, Gus Baha mengingatkan bahwa yang paling utama adalah siapa yang paling berbelas kasih.

“Kalau kamu benar secara fikih,” ujarnya santai, “tapi nanti dihisab karena suudzan, buat apa?”

Fikih husnudzan ala Gus Baha bukan sekadar terminologi jenaka, melainkan refleksi dari maqam ihsan—tahapan di mana pengetahuan hukum bersatu dengan rasa kemanusiaan dancinta kepada Allah. Ia mengajarkan bahwa ilmu tidak berhenti di hafalan atau dalil, tapi menemukan puncaknya ketika mampu menumbuhkan empati.

Dalam setiap kisahnya, Gus Baha seperti sedang menulis ulang wajah keislaman yang ramah dan membumi: Islam yang menuntun, bukan menghakimi; Islam yang mengasihi, bukan menakuti.

Dan di sebuah kampung kecil tahun 1997 itu, di antara jamaah yang tak genap dua puluh orang, lahirlah pelajaran besar tentang bagaimana ilmu, keikhlasan, dan kasih sayang bertemu dalam satu sajadah.

Hikmah Kisah Gus Baha

1. Kedalaman Empati dalam Fikih

Gus Baha’ mencontohkan bahwa dalam beragama, terutama dalam masalah fikih, sebaiknya kita mengedepankan empati dan kasih sayang, bukan sekadar hitam-putih hukum. Ia memilih untuk berbaik sangka dan menghormati perjuangan jamaah di kampung kecil itu.

2. Fikih Husnudzan (Berbaik Sangka)

Terkadang, dalam kondisi tertentu, berbaik sangka lebih utama daripada mengikuti pendapat fikih yang kaku. Ini adalah pelajaran agar kita tidak mudah menghakimi ibadah orang lain, apalagi yang sudah berusaha semaksimal mungkin dalam keterbatasan.

3. Menghindari Su’udzan dalam Beribadah

Jika kita terlalu kaku dan mudah menyalahkan, justru bisa terjatuh pada su’udzan (berburuk sangka) terhadap sesama muslim. Dalam kisah ini, Gus Baha’ mengingatkan bahwa Allah lebih tahu dan lebih penyayang terhadap hamba-Nya.

4. Pentingnya Memahami Ragam Mazhab

Gus Baha’ juga menyinggung bahwa ia memahami mazhab-mazhab fikih lain yang membolehkan atau tidak membolehkan salat Jumat dengan jamaah sedikit, namun ia memilih pendekatan yang lebih lembut dan penuh kasih.

*Penyusunan artikel dengan bantuan ai.stmikkomputama.ac.id
** Tim Humas Universitas Komputama (UNIKMA) Cilacap, Jawa Tengah

Referensi:

  • Transkrip Ceramah Gus Baha Kutipan YouTube

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *