Slide 3
Slide 2
KULIAH DI STMIK KOMPUTAMA MAJENANG
KULIAH GRATIS 100%

Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kamu bisa kuliah gratis 100% dan juga bisa dapat uang saku tiap bulan

Slide 1
“LOCAL CAMPUS GLOBAL VALUES”
previous arrow
next arrow

Hubungan Simbiosis: Menyelami Kedalaman Iman dan Tauhid dalam Kerangka Islam

Stmikkomputama.ac.id – Dalam diskursus keislaman, tidak ada dua istilah yang lebih fundamental dan saling terkait […]

Ilustrasi Sholat berdoa terapi. (Credit by meta.ai/Ridlo)


Stmikkomputama.ac.id – Dalam diskursus keislaman, tidak ada dua istilah yang lebih fundamental dan saling terkait selain Iman dan Tauhid. Sekilas, keduanya mungkin tampak seperti dua sisi dari mata uang yang sama dan memang demikian adanya namun masing-masing memiliki cakupan, kedalaman, dan implikasi yang unik.

Memahami hubungan antara Iman dan Tauhid bukan sekadar latihan teologis yang abstrak, melainkan sebuah penjelajahan spiritual yang menentukan kualitas keberagamaan seorang Muslim, bentuk ibadahnya, dan akhirnya, takdirnya di akhirat.

Iman, yang sering diterjemahkan sebagai “keyakinan” atau “kepercayaan”, adalah bangunan spiritual yang berdiri di atas fondasi yang kokoh. Fondasi itu sendiri adalah Tauhid. Tauhid, yang berasal dari kata wahhada (menjadikan sesuatu satu), adalah doktrin tentang Keesaan Mutlak Allah SWT.

Ia adalah prinsip pertama dan terakhir yang menjiwai seluruh bangunan Islam. Dengan kata lain, jika Islam adalah sebuah bangunan megah, maka Tauhid adalah pondasi dan rangka utamanya, sedangkan Iman adalah dinding, atap, dan segala isi yang membuat bangunan tersebut hidup dan berfungsi.

Mendefinisikan Tauhid: Melampaui Monoteisme Sederhana

Tauhid sering disederhanakan sebagai “monoteisme”. Meski tidak sepenuhnya salah, terjemahan ini tidak cukup untuk menangkap kedalaman maknanya. Tauhid dalam Islam bukan sekadar percaya pada satu Tuhan, tetapi memahami, mengakui, dan mengaktualisasikan keesaan Allah SWT dalam segala aspek ketuhanan-Nya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi Tauhid menjadi tiga cabang utama yang saling melengkapi:

  1. Tauhid Rububiyyah (Mengesakan Allah dalam Perbuatan-Nya).
    Ini adalah pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb (Pencipta, Pemilik, Penguasa, dan Pengatur) seluruh alam semesta. Keyakinan ini bahkan diakui oleh naluri fitrah manusia dan diakui meski sering kali tidak konsisten oleh kaum musyrikin Quraisy pada zaman Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman: “Dan sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Pasti mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.’” (QS. Az-Zukhruf: 9).

Tauhid Rububiyyah adalah pintu masuk paling dasar. Mengakui hal ini saja belum cukup untuk membuat seseorang menjadi Muslim, karena Iblis dan kaum musyrikin pun mengakuinya. Namun, pengakuan ini harus mengantarkan pada langkah berikutnya.

  1. Tauhid Uluhiyyah (Mengesakan Allah dalam Ibadah).

Ini adalah inti dan jantung dari Tauhid. Tauhid Uluhiyyah berarti mengakui bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah, dituju, diharapkan, ditakuti, dan dicintai dengan kecintaan yang disertai ketundukan total. Semua bentuk ibadah shalat, doa, istighotsah (minta pertolongan dalam keadaan darurat), nadzar, penyembelihan harus ditujukan hanya kepada-Nya. Inilah misi utama semua Rasul: “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut’.” (QS. An-Nahl: 36).

Tauhid Uluhiyyahlah yang menjadi pembeda antara Muslim dan musyrik. Syirik dalam konteks ini (Syirik Uluhiyyah) adalah memalingkansuatu bentuk ibadah kepada selain Allah.

  1. Tauhid Asma’ wa Shifat (Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya).

Ini adalah tingkat Tauhid yang paling mendalam, yang menjaga kemurnian konsep ketuhanan. Tauhid Asma’ wa Shifat berarti menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan bagi Diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya, tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolak/mengingkari), takyif (mempertanyakan bagaimananya), dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).

Prinsipnya adalah: “Laisa ka mitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) (QS. Asy-Syura: 11). Kita mengimani bahwa Allah memiliki tangan (“yad”), wajah (“wajh”), dan turun ke langit dunia, tetapi cara dan hakikatnya tidak sama dengan makhluk dan hanya Allah yang mengetahuinya. Dengan memahami tiga pembagian ini, Tauhid tampak bukan sebagai konsep statis, melainkan sebuah sistem teologis yang komprehensif yang mengatur hubungan antara Pencipta dan ciptaan.

Mendefinisikan Iman: Lebih dari Sekadar Pengakuan Verbal

Iman, dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan sekadar keyakinan di dalam hati (tasdiq bil qalb). Ia adalah sebuah entitas yang hidup dan dinamis. Definisi Iman yang paling otentik adalah: “Pembenaran dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”

  1. Keyakinan Hati (I’tiqad bil Qalb). Ini adalah fondasi internal Iman. Seorang Muslim harus meyakini enam rukun Iman tanpa keraguan sedikit pun: Percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk. Keyakinan ini harus melahirkan rasa cinta, takut, harap, dan tawakal hanya kepada Allah.
  2. Pengakuan Lisan (Iqrar bil Lisan). Keyakinan hati harus diikrarkan secara verbal melalui syahadatain. Pengakuan ini memiliki implikasi sosial dan hukum. Ia adalah deklarasi publik tentang identitas keislaman seseorang dan komitmen untuk tunduk pada hukum Allah.
  3. Pengamalan Anggota Badan (Amal bil Arkan). Inilah buah dari keyakinan dan pengakuan. Amal adalah bukti nyata dari Iman. Iman yang kuat akan mendorong seseorang untuk melaksanakan perintah Allah (seperti shalat, zakat, puasa) dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah SAW bersabda:

“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallah’ (Tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa Iman mencakup seluruh spektrum kehidupan, dari keyakinan teologis yang paling tinggi hingga tindakan sosial yang paling sederhana. Konsep Iman yang “bertambah dan berkurang” juga menunjukkan sifatnya yang dinamis, sangat dipengaruhi oleh amal shaleh dan kemaksiatan.

Tauhid sebagai Fondasi dan Jiwa Iman

Setelah memahami definisi masing-masing, hubungan hierarkis antarakeduanya menjadi jelas. Tauhid adalah esensi, fondasi, dan jiwa dari Iman.

  1. Tauhid sebagai Rukun Iman yang Pertama dan Utama. Rukun Iman yang pertama adalah “Percaya kepada Allah”. Percaya kepada Allah dalam Islam tidaklah ambigu; ia secara spesifik berarti percaya kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan konsep Tauhid yang telah dijelaskan. Dengan demikian, Tauhid adalah rukun pertama dan terpenting yang menjadi prasyarat bagi rukun-rukun lainnya. Percaya kepada Malaikat, Kitab, dan Rasul adalah konsekuensi logis dari percaya kepada Allah yang mengutus mereka. Percaya kepada Hari Akhir adalah konsekuensi dari percaya kepada Allah sebagai Pengadil yang Mahaadil. Percaya kepada Takdir adalah bentuk kepasrahan kepada kehendak dan hikmah Allah. Jadi, seluruh bangunan Iman berdiri di atas pilar Tauhid.
  2. Tauhid Menentukan Validitas Iman dan Amal. Sebuah bangunan yang didirikan di atas fondasi yang rapuh akan roboh. Demikian pula, seluruh amal ibadah seorang Muslim sehebat apa pun menjadi sia-sia jika fondasi Tauhidnya cacat. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65).

Shalat, puasa, sedekah, bahkan jihad, tidak akan memiliki nilai di sisi Allah jika disertai dengan syirik. Tauhid Uluhiyyahlah yang memberikan “ruh” pada gerakan-gerakan ibadah tersebut. Shalat menjadi bermakna karena dilakukan dengan penuh ketundukan hanya kepada Allah, bukan untuk pamer atau alasan duniawi lainnya.

  1. Tauhid sebagai Sumber Motivasi dan Makna. Iman yang kuat membutuhkan motivasi yang mendalam. Motivasi tertinggi seorang Muslim adalah mencari ridha Allah. Konsep Tauhidlah yang memberikan makna pada motivasi ini. Karena Allah adalah Al-Khaliq (Pencipta), Ar-Razzaq (Pemberi Rezeki), Al-Hakim (Maha Bijaksana), maka hanya Dia yang layak ditaati secara mutlak. Tauhid memberikan ketenangan karena meyakini bahwa semua urusan ada di tangan Yang Maha Kuasa. Ia juga menjadi sumber moral, karena semua tindakan diawasi oleh Allah yang Maha Melihat. Dengan kata lain, Tauhid adalah “mengapa” di balik “apa” dan “bagaimana” dari Iman dan amal.

Iman sebagai Aktualisasi dan Realisasi Tauhid

Jika Tauhid adalah fondasi dan jiwa, maka Iman adalah bangunan dan jasad yang mengejawantahkan jiwa tersebut. Tauhid yang benar harus melahirkan Iman yang aktif dan produktif.

  1. Iman adalah Bukti Nyata dari Pemahaman Tauhid. Seseorang mungkin saja memahami teori Tauhid dengan sangat baik. Namun, pemahaman itu diuji dan dibuktikan melalui komitmennya terhadap rukun Iman dan Islam. Seorang yang benar-benar mentauhidkan Allah dalam Uluhiyyah-Nya, akan tunduk melaksanakan shalat karena itu adalah perintah langsung dari Rabb-nya. Seorang yang mentauhidkan Allah dalam Rububiyyah-Nya, akan bersabar atas takdir buruk karena meyakini itu datangdari Yang Maha Bijaksana. Iman, dengan komponen amalnya, adalah realisasi praktis dari Tauhid teoretis.
  2. Iman Memperkuat dan Memperdalam Tauhid. Hubungannya bersifat timbal balik. Proses beriman melakukan shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir secara tidak langsung memperkuat keyakinan Tauhid dalam hati. Ketika seorang Muslim merasakan ketenangan dalam shalat, ia semakin yakin bahwa hanya Allah tempat bergantung. Ketika ia mempelajari keajaiban alam melalui sains dengan kacamata Tauhid, keyakinannya pada Tauhid Rububiyyah semakin menjadi. Jadi, Iman bukanlah produk akhir, tetapi sebuah proses yang terus-menerus menyuburkan dan mengakar-kan Tauhid ke dalam relung hati yang paling dalam.
  3. Iman yang Komprehensif Menjaga Kemurnian Tauhid. Iman yang mencakup keyakinan pada Takdir, misalnya, melindungi Tauhid dari kerusakan. Saat musibah datang, orang yang imannya lemah mungkin akan menyalahkan takdir atau bahkan marah kepada Allah sebuah bentuk protes terhadap Rububiyyah Allah. Sebaliknya, orang yang beriman kepada takdir akan menerimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga kemurnian Tauhidnya terjaga. Keyakinan pada Hari Akhir juga mencegah seseorang dari menyekutukan Allah dengan hawa nafsu duniawi, karena ia yakin ada pertanggungjawaban.

Aplikasi Praktis dalam Kehidupan: Dari Teologi ke Amal Saleh

Hubungan Iman dan Tauhid tidak berhenti di ruang diskusi teologis. Ia harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.

  1. Dalam Ibadah Mahdhah (Khusus). Setiap gerakan shalat, dari takbiratul ihram hingga salam, adalah simbol penyerahan diri total hanya kepada Allah (Tauhid Uluhiyyah). Doa-doa yang dipanjatkan berisi pujian pada nama dan sifat Allah yang indah (Tauhid Asma’ wa Shifat). Puasa melatih diri untuk meninggalkan hawa nafsu karena ingat bahwa Allah selalu mengawasi (Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah).
  2. Dalam Muamalah dan Akhlak. Tauhid mengajarkan bahwa semua manusia adalah hamba di hadapan Allah yang Maha Esa. Ini melahirkan persaudaraan (ukhuwah) yang sejati, menghilangkan rasisme dan kesombongan. Dalam bisnis, kejujuran dilandasi oleh iman bahwa Allah Maha Melihat dan akan membalas di Hari Akhir. Seorang pemimpin yang bertauhid akan merasa bahwa kekuasaannya adalah amanah dari Allah, sehingga ia berusaha untuk adil.
  3. Dalam Menghadapi Cobaan. Orang yang bertauhid dan beriman kuat akan memandang cobaan sebagai ujian, teguran, atau pembersih dosa dari Allah yang Maha Bijaksana. Ia tidak akan putus asa, karena harapannya hanya kepada Allah. Ia akan berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”(Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali), sebuah pernyataan Tauhid Rububiyyah yang dalam.

Tantangan Kontemporer terhadap Tauhid dan Iman

Di era globalisasi dan sekularisme, hubungan Iman dan Tauhid menghadapi tantangan unik:

  1. Syirik Modern. Jika dulu syirik berbentuk menyembah berhala, kini ia hadir dalam bentuk yang lebih halus: materialisme (mendewakan kekayaan), hedonisme (mendewakan kesenangan), individualisme ekstrem, dan penyembuhanterhadap figur-figur dunia (selebritas, penguasa) hingga melampaui batas. Ini adalah tantangan terhadap Tauhid Uluhiyyah.
  2. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan publik adalah serangan terhadap keuniversalan Tauhid. Ia membatasi “Tuhan” hanya di masjid dan rumah, sementara di pasar, politik, dan pendidikan, “tuhan” yang berlaku adalah akal manusia, pasar bebas, atau kekuasaan. Ini merusak integritas Iman yang seharusnya mengatur seluruh aspek kehidupan.
  3. Relativisme Agama. Paham bahwa “semua agama sama” bertentangan dengan esensi Tauhid, yang menegaskan bahwa hanya Islam agama yang diterima di sisi Allah (QS. Ali ‘Imran: 19). Iman kepada Rasulullah SAW sebagai penutup para nabi mensyaratkan keyakinan ini.
  4. Krisis Spiritualitas. Banyak Muslim yang secara formal menjalankan ritual (simbol Iman), tetapi hatinya kosong dari makna Tauhid. Shalat dilakukan tapi maksiat tetap merajalela. Ini menunjukkan lemahnya hubungan antara amal Iman dengan fondasi Tauhid di dalam hati.

Kesimpulan: Menyatukan Kembali Hati dan Akidah dalam Kehidupan Modern

Hubungan antara Iman dan Tauhid adalah hubungan yang simbiosis, organik, dan tak terpisahkan. Tauhid adalah jiwa (ruh) dan fondasi (asas), sedangkan Iman adalah jasad (jism) dan bangunan (bina’). Tauhid tanpa Iman yang diwujudkan dalam amal adalah teori kosong yang tidak memiliki pengaruh dalam kehidupan. Sebaliknya, Iman tanpa Tauhid yang murni adalah bangunan rapuh yang tidak akan bertahan di hadapan Allah.

Kedalaman pemahaman Tauhid (pada level Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat) akan menentukan kualitas dan kedewasaan Iman seseorang. Iman, dengan segala cabangnya yang mencakup keyakinan, ucapan, dan perbuatan, adalah bukti nyata dan media untuk memperkuat Tauhid itu sendiri.

Tantangan zaman sekarang menuntut setiap Muslim untuk tidak hanya puas dengan warisan keyakinan, tetapi secara aktif dan kritis memperdalam pemahaman Tauhidnya melalui studi, dan sekaligus menghidupkan Iman melalui amal shaleh yang konsisten dan ikhlas. Hanya dengan menyatukan kembali kekuatan Tauhid di dalam hati dengan keaktifan Iman dalam kehidupan nyata, seorang Muslim dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya, dan meraih tujuan penciptaannya: untuk menyembah Allah semata, dengan penuh ketundukan dan kecintaan, hingga akhir hayat.

“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162-163)

Inilah seruan abadi yang menggema dari hubungan paling mendalam antara Iman dan Tauhid sebuah seruan untuk mempersembahkan seluruh totalitas kehidupan hanya kepada Yang Maha Esa.

*Kuswantoro, M.Pd, Penulis adalah dosen Islamic Studies di STMIK Komputama Cilacap

Daftar Referensi

  • Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
  • Semua kutipan ayat Al-Qur’an dalam artikel dirujuk dari mushaf ini.
  • Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih Al-Bukhari.
  • Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim.
  • Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. (2003). Syarh Tsalatsatul Ushul (Penjelasan 3Landasan Utama). Darul Aqidah. Kitab ini menjelaskan dasar-dasar Tauhid (Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat) dengan sangat jelas dan metodologis.
  • At-Tamimi, Muhammad bin Abdul Wahhab. Kitab At-Tauhid. Kitab monumental yang fokus pada pembahasan Tauhid Uluhiyyah dan berbagai bentuk syirik yang mengotorinya. Menjadi rujukan utama para ulama.
  • Al-Qayyim, Ibnu. Madarijus Salikin. Membahas hubungan antara Tauhid, Iman, dan tingkat-tingkat perjalanan spiritual (suluk) seorang hamba.
  • Al-Ba’ly, Ibnu Abil ‘Izz. Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.Penjelasan (syarh) terhadap kitab akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Imam Ath-Thahawi. Membahas konsep Iman dan Tauhid secara komprehensif.
  • Al-Aql, Nashir bin Abdul Karim. (2000). Al-Iman: Haqiqatuhu, Khashaisuhu, Nuqshishuhu, Mufsidatuhu. Dar Al-Wathan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *