Banner Tarik Pameran Elektronik dan Teknologi Modern Biru dan Merah Muda (1)
Slide 3
Slide 2
KULIAH DI STMIK KOMPUTAMA MAJENANG
KULIAH GRATIS 100%

Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kamu bisa kuliah gratis 100% dan juga bisa dapat uang saku tiap bulan

Slide 1
“LOCAL CAMPUS GLOBAL VALUES”
Slide
previous arrow
next arrow

Memaknai Hari Kesehatan Mental Sedunia Perspektif Islam, Merawat Jiwa dan Keimanan

Universitas Komputama – Setiap tahun, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia pada tanggal 10 Oktober. […]

Ilustrasi Hari Kesehatan Mental Sedunia, Merawat jiwa dan keimanan, kesehatan mental dalam perspektif Islam. (Foto: Created by Cici AI/Kuswantoro/Universitas Komputama)


Universitas Komputama – Setiap tahun, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia pada tanggal 10 Oktober. Momen ini menjadi pengingat global akan pentingnya kesehatan jiwa, sebuah aspek kemanusiaan yang seringkali terabaikan di tengah gegap gempita kehidupan modern.

Stigma, diskriminasi, dan kurangnya pemahaman masih melekat erat pada isu-isu seperti depresi, kecemasan, gangguan bipolar, dan trauma. Dalam masyarakat Muslim, tantangan ini seringkali diperparah dengan interpretasi keagamaan yang sempit, di mana kondisi mental dikaitkan dengan kurangnya iman, kerasukan jin, atau kutukan.

Artikel ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam konsep kesehatan mental dari perspektif Islam yang holistik dan rahmatan lil ‘alamin. Islam, sebagai agama yang sempurna, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah), tetapi juga hubungan dengan sesama manusia (hablun min an-nas) dan dengan dirinya sendiri. Jiwa (an-nafs) menempati posisi sentral dalam ajaran Islam. Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW dipenuhi dengan panduan untuk merawat, membersihkan, dan menenangkannya.

Dengan menggali khazanah keislaman, kita akan menemukan bahwa psikologi modern bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sebuah disiplin ilmu yang sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental Islam tentang kesejahteraan jiwa. Tujuan akhirnya adalah untuk mendekonstruksi stigma, memberdayakan umat, dan menunjukkan bahwa mencari bantuan untuk kesehatan mental baik melalui terapi, konseling, atau pengobatan medis adalah bagian dari ikhtiar yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan manifestasi dari tawakal yang benar.

Fondasi Konseptual Jiwa (An-Nafs) dalam Al-Qur’an dan Hadis

Sebelum membahas kesehatan mental, penting untuk memahami terlebih dahulu bagaimana Islam memandang jiwa manusia. Konsep sentralnya adalah an-nafs.

  1. Tahapan Perkembangan An-Nafs

Al-Qur’an menggambarkan perkembangan jiwa melalui beberapa tahapan, yang mencerminkan perjalanan spiritual dan psikologis setiap individu:

  • An-Nafs al-Ammārah bi as-Sū’ (النفس الأمارة بالسوء):Jiwa yang selalu mendorong pada kejahatan. Ini adalah kondisi jiwa yang paling dasar, dipenuhi oleh hawa nafsu, impulsivitas, dan kecenderungan pada hal-hal yang negatif. Allah SWT berfirman dalam kisah Yusuf:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)
Tahap ini dapat disamakan dengan kondisi psikologis di mana ego dan id mendominasi, leading to destructive behaviors.

  • An-Nafs al-Lawwāmah (النفس اللوامة): Jiwa yang mencela. Pada tahap ini, manusia mulai memiliki kesadaran moral dan suara hati. Ia menyesali kesalahan dan dosa-dosanya. Jiwa ini merasa gelisah dan tidak tenang ketika berbuat salah.

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 2). Tahap ini mencerminkan perkembangan superego dalampsikologi, di mana individu mulai memiliki internal gauge untuk benar dan salah. Kegelisahan dan rasa bersalah yang dialami adalah tanda jiwa yang hidup dan sehat.

  • An-Nafs al-Muthma’innah (النفس المطمئنة): Jiwa yang tenang dan tenteram. Ini adalah kondisi ideal yang dicari setiap Muslim. Jiwa yang telah menemukan kedamaian melalui dzikir, ibadah, dan penyerahan diri kepada Allah.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30). Ketenangan jiwa inilah yang menjadi inti dari kesehatan mental dalam Islam. Ia adalah keadaan bebas dari kecemasan, keraguan, dan kegelisahan eksistensial.

  1. Konsep Qalb (Hati) sebagai Pusat Spiritual dan Emosional

Selain an-nafs, konsep qalb (hati) sangat vital. Dalam perspektif Islam, hati bukan hanya organ pemompa darah, tetapi pusat keimanan, kebijaksanaan, persepsi, dan emosi. Nabi SAW bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah, bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ingatlah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hati yang sakit (qalbun marīd) dapat menyebabkan gangguan dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Penyakit hati seperti hasad (iri-dengki), riya’, ujub (bangga diri), dan ghurur (tertipu) adalah akar dari banyak penderitaan mental. Oleh karena itu, “psikoterapi” dalam Islam sangat menekankan pada pembersihan hati (tazkiyat al-qalb).

Mengurai Stigma: Iman vs. Gangguan Mental

Salah satu hambatan terbesar dalam penanganan kesehatan mental di komunitas Muslim adalah stigma yang menganggap bahwa gangguan mental adalah bukti dari lemahnya iman.

  1. Memisahkan Kondisi Medis dari Kualitas Iman

Pandangan ini bertentangan dengan teladan Nabi SAW dan para sahabat. Nabi SAW sendiri pernah mengalami masa-masa sulit yang dalam bahasa modern bisa disebut sebagai tekanan psikologis yang berat, seperti setelah menerima wahyu pertama (dikenal sebagai periode fatratul wahy) dan saat ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta (Khadijah RA dan Abu Thalib). Kesedihan beliau sangat manusiawi.

Selain itu, banyak sahabat Nabi yang mengalami kesedihan mendalam. Nabi Ya’qub AS, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an, mengalami kesedihan yang amat sangat hingga matanya memutih dan beliau disebutkan “menangis terus-menerus”.

وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ

“Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) dan berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,’ dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amalnya (kepada Allah).” (QS. Yusuf: 84).

Kisah ini jelas menunjukkan bahwa kesedihanyang mendalam, bahkan yang berlangsung lama, adalah respons manusiawi yang dialami bahkan oleh para Nabi. Ini bukanlah indikator lemahnya iman.

  1. Peran Iman dalam Menghadapi Ujian

Iman bukanlah tameng yang membuat kita kebal dari kesedihan atau gangguan mental. Sebaliknya, iman adalah kerangka makna (framework of meaning) dan sumber ketahanan (source of resilience) yang membantu kita melewati ujian tersebut. Seorang yang beriman percaya bahwa:

  • Semua ujian berasal dari Allah dan merupakan bagian dari takdir.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35).

  • Di balik kesulitan ada hikmah dan pahala.

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)

  • Tidak ada beban yang diberikan melebihi kemampuan hamba-Nya.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Keyakinan-keyakinan inilah yang memberikan harapan dan kekuatan untuk bertahan. Jadi, iman berperan sebagai coping mechanism yang sangat powerful, bukan sebagai pencegah mutlak dari gangguan jiwa.

Gejala-Gejala Gangguan Mental dalam Narasi Islam Klasik

Meskipun tidak menggunakan terminologi modern seperti “depresi” atau “anxiety disorder”, literatur Islam klasik telah menggambarkan kondisi-kondisi psikologis dengan sangat rinci.

  1. Al-Huzn (Kesedihan Mendalam). Al-Huzn adalah kesedihan yang menggerogoti hati. Dalam sebuah doa, Nabi SAW memohon perlindungan dari hal ini:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (rasa) gundah gulana dan sedih.” (HR. Bukhari).

  1. Al-Hamm (Kekhawatiran dan Kecemasan). Al-Hamm adalah kekhawatiran yang berlebihan terhadap masa depan. Ini adalah inti dari Generalized Anxiety Disorder (GAD). Nabi SAW mengajarkan doa untuk melepaskan diri dari belenggu hamm.
  2. Al-Jazā’ (Kepanikan dan Ketakutan). Ini menggambarkan serangan panik (panic attack) atau fobia. Nabi SAW mengajarkan untuk membaca doa-doa perlindungan ketika merasa takut.

Para ulama dan ahli hikmah Islam seperti Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin telah membahas penyakit-penyakit hati ini dengan sangat mendalam, lengkap dengan “diagnosis” dan “terapinya” yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pembahasan mereka menunjukkan bahwa Muslim di abad pertengahan sudah sangat peka terhadap kompleksitas kehidupan batin manusia.

Pendekatan Holistik Islam dalam Merawat Kesehatan Mental

Islam menawarkan serangkaian praktik spiritual, psikologis, dan sosial yang terintegrasi untuk merawat kesehatan mental.

  1. Terapi Spiritual (Ash-Shifā’ ar-Rūhiy)
  • Shalat (Salat): Shalat adalah meditasi bergerak yang terstruktur. Gerakannya yang repetitif, disertai dengan dzikir dan konsentrasi penuh (khusyuk), telah terbukti secara ilmiah menurunkan tingkat stres dan kecemasan. Nabi SAW bersabda:

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

“Dan dijadikan penyejuk mataku (kebahagiaanku) dalam shalat.” (HR. An-Nasa’i)
Shalat juga mengajarkan disiplin danmengalihkan fokus dari masalah duniawi kepada Sang Pencipta.

  • Dzikir (Mengingat Allah): Dzikir adalah praktik mindfulness tertua. Dengan terus-menerus mengingat Allah, hati menjadi tenang.

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

  • Membaca dan Menadaburi Al-Qur’an (Al-Qur’ān Syifā’): Al-Qur’an disebut sebagai penyembuh (syifā’).

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82). Membacanya memiliki efek menenangkan seperti terapi suara (sound therapy).

  • Doa (Du’ā): Doa adalah katarsis. Ia adalah saluran untuk menuangkan segala beban, keluh kesah, dan harapan kepada Dzat Yang Maha Mendengar. Proses berdoa sendiri sudah merupakan sebuah terapi pelepasan.
  • Bersyukur (Syukr) dan Bersabar (Sabr): Syukur melatih otak untuk fokus pada hal-hal positif, sementara sabar adalah ketahanan dalam menghadapi kesulitan. Keduanya adalah kunci utama untuk kebahagiaan sejati.
  1. Terapi Psikologis dan Sosial (An-Nushūh al-Ijtimā’iyyah)
  • Silaturahmi: Hubungan sosial yang kuat adalah buffer terhadap stres. Nabi SAW menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan kerabat dan tetangga.
  • Bersedekah: Secara mengejutkan, penelitian modern membuktikan bahwa memberi (giving) meningkatkan hormon kebahagiaan seperti endorfin. Islam telah mendahului ini dengan anjuran sedekah.

وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qasas: 77).

  • Mencari Ilmu Pengetahuan: Aktivitas kognitif seperti menuntut ilmu dapat mengalihkan pikiran dari kekhawatiran dan memperluas wawasan.
  • Bercerita dan Konseling (At-Tawāshī): Islam menganjurkan untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Seorang Muslim didorong untuk mencari “teman bicara” yang dapat dipercaya, yang dalam konteks modern bisa berupa konselor atau terapis.
  1. Terapi Fisik (At-Tadāwī al-Jismiy)
  • Pola Makan (Halalan Thayyiban): Apa yang kita makan mempengaruhi kondisi mental kita. Nabi SAW bersabda tentang perlunya mengisi lambung dengan sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara. Ini adalah prinsip diet yang sangat sehat.
  • Olahraga dan Aktivitas Fisik: Nabi SAW menganjurkan olahraga seperti memanah, berkuda, dan berenang. Aktivitas fisik melepaskan endorfin, hormon pereda stres alami.
  • Tidur yang Cukup: Islam mengatur waktu tidur dengan anjuran tidur awal dan bangun untuk tahajud. Pola tidur yang teratur sangat penting untuk kesehatan mental.

Integrasi antara Psikoterapi Modern dan Spiritualitas Islam

Pendekatan yang paling efektif adalah integrasi. Spiritualitas Islam dan psikologi modern bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.

  1. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Restructuring of Beliefs. CBT berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif (cognitive distortions). Dalam Islam, ini sejalan dengan konsep muhasabah(introspeksi diri) dan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Seorang terapis Muslim dapat membantu klien untuk menguji validitas pikiran negatifnya dan menggantinya dengan keyakinan yang lebih sehat dan selaras dengan ajaranIslam, misalnya:
  • Pikiran Negatif: “Saya gagal total dan tidak berguna.”
  • Restrukturisasi Islami: “Kegagalan ini adalah ujian. Allah tidak menilai hasil, tetapi usaha saya. Selama saya berikhtiar, itu sudah bernilai pahala. Saya masih memiliki nilai di mata Allah.”
  1. Mindfulness dan Meditasi (Muraqabah). Praksik mindfulness modern, yang berfokus pada kesadaran penuh pada momen saat ini, sangat mirip dengan konsep muraqabahdalam tasawuf selalu merasa diawasi oleh Allah. Dzikir adalah bentuk mindfulness yang sempurna.
  2. Peran Terapis dan Konselor Muslim. Seorang profesional kesehatan mental yang beragama Islam memiliki keuntungan ganda. Ia memahami prinsip-prinsip psikologi modern sekaligus memiliki sensitivitas terhadap nilai-nilai dan keyakinan kliennya. Ia dapat merangkul doa, ayat Al-Qur’an, atau kisah para Nabi sebagai bagian dari proses terapi, tanpa mengesampingkan protokol ilmiah yang berlaku.

Peran Komunitas dan Keluarga dalam Mendukung Kesehatan Mental

Kesehatan mental adalah tanggung jawab kolektif.

  • Keluarga: Sebagai unit terkecil, keluarga harus menjadi safe haven tempat di mana setiap anggota merasa dicintai, didengar, dan didukung tanpa syarat. Orang tua perlu mendidik anaknya untuk mengenali dan mengungkapkan emosi.
  • Masjid: Masjid seharusnya bukan hanya tempat shalat, tetapi juga pusat komunitas yang menawarkan dukungan sosial. Kegiatan seperti pengajian, kelompok halaqah, dan program sosial dapat menjadi wadah untuk mengatasi isolasi dan kesepian.
  • Pemimpin Agama (Ustadz, Kyai, Da’i): Mereka memiliki pengaruh besar untuk mengubah narasi. Daripada menyalahkan, mereka harus mendidik jamaah tentang pentingnya kesehatan mental, mendekonstruksi mitos, dan mengarahkan mereka yang membutuhkan kepada bantuan profesional.

Kesimpulan: Menuju Pemahaman yang Lebih Humanis dan Rahmatan lil ‘Alamin

Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia dalam konteks Islam adalah momentum untuk merefleksikan kembali ajaran agama kita yang penuh kasih dan seimbang. Islam datang bukan untuk menyulitkan, melainkan memudahkan. Bukan untuk menyakiti jiwa, melainkan menyembuhkannya.

Gangguan mental adalah sebuah realitas medis dan manusiawi, bukan aib atau kutukan. Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita justru menemukan validasi bahwa perjuangan batin kita diakui dan disediakan solusinya. Mencari bantuan profesional—baik psikiater, psikolog, atau konselor—adalah sebuah bentuk ibadah, karena itu adalah ikhtiar kita untuk menjalankan perintah Allah untuk menjaga diri (QS. Al-Baqarah: 195).

Marilah kita jadikan momen ini sebagai awal untuk membangun komunitas Muslim yang lebih empatik, inklusif, dan mendukung. Komunitas di mana setiap jiwa yang terluka merasa aman untuk berbicara, didengar tanpa dihakimi, dan dituntun menuju penyembuhan dengan cahaya iman dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita mewujudkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang untuk menemukan ketenangannya.

رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kamipetunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS. Al-Kahfi: 10)

*Kuswantoro, M.Pd.I, Dosen Islamic Studies di Universitas Komputama (Unikma), Cilacap, Jawa Tengah

Referensi:

  1. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya.
  2. Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
  3. Al-Ghazali, Abu Hamid. (Ihya’ Ulumuddin). The Revival of the Religious Sciences.
  4. Badri, Malik. (2000). The Dilemma of Muslim Psychologists.
  5. Hamdan, A. (2008). Cognitive Restructuring: An Islamic Perspective. Journal of Muslim Mental Health.
  6. Keshavarzi, H., & Haque, A. (2013). Outlining a psychotherapy model for enhancing Muslim mental health within an Islamic context. International Journal for the Psychology of Religion.
  7. World Health Organization (WHO). (2022). World Mental Health Report: Transforming Mental Health for All.
  8. The National Alliance on Mental Illness (NAMI). Mental Health Conditions.
  9. American Psychological Association (APA). Publication Manual of the American Psychological Association, 7th Edition.
  10. Kaplick, P. M., & Skinner, R. (2017). The evolving relationship between Islam and neuroscience. Frontiers in Psychology.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *