Stmikkomputama.ac.id – Suasana Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-79 mendadak tegang saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil alih panggung. Dengan durasi 56 menit, pidatonya jauh melampaui batas waktu resmi 15 menit yang ditetapkan panitia untuk setiap kepala negara.
Alih-alih meminta maaf atau mengurangi durasi, Trump justru menggunakan kesempatan itu sebagai panggung besar untuk melancarkan kritik, kampanye, sekaligus retorika provokatif khas dirinya.
Pidato panjang ini bahkan dimulai dengan drama teknis. Teleprompter yang tiba-tiba mati membuat Trump berhenti sejenak, menyapa audiens, dan kemudian melanjutkan dengan improvisasi. “Mungkin ini salah satu contoh kenapa organisasi ini penuh masalah,” sindirnya sambil menunjuk ke arah teknisi.
Tak lama sebelumnya, insiden kecil terjadi saat Trump dan Ibu Negara Melania menaiki eskalator di markas besar PBB yang tiba-tiba berhenti mendadak. Peristiwa itu sempat menjadi bahan komentar Trump yang menyebut PBB sebagai “simbol inefisiensi global”.
Kritik Tajam dan Retorika Konfrontatif
Selama hampir satu jam, Trump menyampaikan beragam kritik yang membuat banyak delegasi gelisah. Beberapa poin utama dari pidatonya antara lain:
Kritik terhadap PBB: Trump menuduh lembaga internasional itu “lebih banyak bicara daripada bertindak”.
Pesan keras kepada dunia: dengan kalimat kontroversial, ia berkata, “Your countries are going to hell” — sebuah pernyataan yang langsung memicu bisik-bisik di ruang sidang.
Isu migrasi: Trump menyebut kebijakan imigrasi global sebagai bencana yang mengancam identitas bangsa-bangsa.
Energi dan iklim: Ia mengkritik “obsesi” negara Eropa terhadap energi hijau, yang menurutnya melemahkan keamanan energi global.
Kepemimpinan dunia: Trump menuding para pemimpin global “lemah dan tidak visioner” dalam menghadapi konflik internasional.
Reaksi Delegasi
Pidato Trump memunculkan beragam reaksi:
Delegasi Eropa tampak gelisah ketika Trump menyinggung transisi energi dan menyebutnya sebagai “bunuh diri ekonomi”.
Perwakilan negara-negara berkembang terlihat tidak nyaman ketika Trump berkata bahwa banyak negara “hanya mengandalkan bantuan tanpa memberi kontribusi nyata”.
Beberapa sekutu dekat AS memilih menahan komentar, meski ekspresi wajah mereka terekam kamera sebagai tanda ketidaksetujuan.
Seorang diplomat anonim dari Amerika Latin berkomentar kepada media: “Kami datang untuk berdiskusi, bukan mendengarkan kuliah panjang penuh hinaan.”
PBB sudah lama menetapkan aturan agar setiap kepala negara mendapat alokasi waktu sekitar 15 menit untuk berpidato. Hal ini bertujuan menjaga keadilan dan efisiensi, mengingat lebih dari 190 negara berpartisipasi. Namun dalam praktiknya, beberapa pemimpin memang kerap melanggar aturan ini.
Yang membuat pidato Trump unik adalah durasi 56 menit, yang menjadikannya salah satu pidato terpanjang dalam sejarah sidang PBB modern. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tampak memberi isyarat kepada panitia untuk menghentikan, namun Trump tetap melanjutkan dengan gaya penuh percaya diri.
Analisis: Diplomasi atau Panggung Kampanye?
Banyak analis menilai pidato Trump lebih menyerupai pidato kampanye domestik ketimbang pernyataandiplomatik resmi. Beberapa poin analisis yang muncul di media internasional:
1. Strategi Politik
Trump sedang bersiap menghadapi pemilu di dalam negeri. Dengan panggung global PBB, ia bisa menunjukkan citra sebagai pemimpin keras, berani, dan tidak tunduk pada aturan main.
2. Gangguan Protokol Diplomatik
Dengan melampaui waktu hingga hampir sejam, Trump dianggap “merampas hak bicara” negara lain. Hal ini bisa merusak hubungan diplomatik dan menciptakan antipati di kalangan sekutu.
3. Dampak Jangka Panjang
Retorika kasar seperti “Negara kalian menuju kehancuran” bisa memicu ketegangan diplomatik baru, terutama dengan negara-negara Eropa dan mitra perdagangan AS.
Pidato 56 menit Donald Trump di PBB akan tercatat sebagai salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah organisasi tersebut. Di satu sisi, ia berhasil menyita perhatian dunia. Namun di sisi lain, gaya konfrontatif dan pengabaian terhadap aturan sidang justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk kepemimpinan tegas, atau sekadar teatrikal politik yang merusak etika diplomasi internasional?
Satu hal yang pasti: PBB belum pernah terasa sepanas, setegang, dan sedramatis ini sejak lama.
*Penulis MH Somaida, Dosen Prodi Sistem Informasi STMIK Komputama Majenang
Sumber: Dari berbagai sumber (laporan media dalam dan luar negeri)