Slide 3
Slide 2
KULIAH DI STMIK KOMPUTAMA MAJENANG
KULIAH GRATIS 100%

Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kamu bisa kuliah gratis 100% dan juga bisa dapat uang saku tiap bulan

Slide 1
“LOCAL CAMPUS GLOBAL VALUES”
previous arrow
next arrow

Urgensi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern

Stmikkomputama.ac.id – Perguruan tinggi seringkali digambarkan sebagai menara gading—sebuah ruang yang terisolasi di mana ilmu […]

Ilustrasi mahasiswi di ruang laboratorium komputer. (Foto by: Meta/ai/Ridlo)


Stmikkomputama.ac.id – Perguruan tinggi seringkali digambarkan sebagai menara gading—sebuah ruang yang terisolasi di mana ilmu pengetahuan murni dan teori-teori abstrak berkembang, terlepas dari hiruk-pikuk dan kompleksitas kehidupan di luar tembus kampus. Dalam narasi ini, pendidikan agama Islam kerap dipandang sebagai relik masa lalu, sebuah subjek yang tidak lagi sesuai dengan kurikulum modern yang berfokus pada sains, teknologi, ekonomi, dan keterampilan profesional. Ia dianggap sebagai warisan dari era yang lebih sederhana, yang mungkin cocok untuk diajarkan di pesantren atau madrasah, tetapi tidak di ruang kuliah yang didedikasikan untuk pemikiran kritis dan kemajuan sekuler.

Anggapan ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Justru di tengah pusaran kehidupan modern yang ditandai oleh disrupsi teknologi, globalisasi yang masif, polarisasi sosial, dan krisis makna, pendidikan agama Islam di perguruan tinggi menemukan urgensi barunya yang paling vital. Ia tidak hadir untuk menandingi ilmu pengetahuan, melainkan untuk melengkapinya; bukan untuk mematikan akal budi, melainkan untuk memperdalamnya; bukan untuk melarikan diri dari dunia, melainkan untuk memberdayakan individu untuk hidup di dalamnya dengan lebih penuh, etis, dan bermartabat.

Bab 1: Memetakan Medan Modern: Tantangan Zaman Now bagi Generasi Muslim

Sebelum kita dapat memahami peran pendidikan agama Islam, kita harus terlebih dahulu mendiagnosis kondisi dunia yang hendak diatasinya. Kehidupan modern, dengan segala kecanggihan dan janjinya, menghadirkan serangkaian paradoks dan tantangan yang unik bagi generasi Muslim.

  • Banjir Informasi dan Krisis Kebijaksanaan (Information Overflow dan Wisdom Famine).

Era digital telah membanjiri kita dengan informasi. Kita memiliki akses tak terbatas kepada data, berita, opini, dan pengetahuan teknis. Namun, ada perbedaan mendasar antara informasi (knowledge what) dan kebijaksanaan (knowledge why dan how). Kemampuan untuk menyaring informasi, membedakan yang benar dari yang palsu, memahami konteks yang lebih dalam, dan menerapkan pengetahuan secara bermakna dan etis adalah bentuk kebijaksanaan yang justru semakin langka. Teknologi memberi kita alat, tetapi ia tidak memberi kita tujuan atau moral untuk menggunakannya. Di sinilah kebijaksanaan yang sering kali digali dari tradisi-tradisi agama menjadi sangat diperlukan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019:

  1. Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. Al Hujurat: 6)
  • Individualisme Ekstrem dan Erosi Kohesi Sosial

Modernitas seringkali mengedepankan otonomi individu. Sementara hal ini membawa kebebasan dan kemajuan, sisi gelapnya adalah munculnya individualisme yang ekstrem—sebuah fokus pada diri sendiri yang mengikis rasa tanggung jawab komunal, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama. Masyarakat menjadikumpulan atom-atom yang terisolasi, yang terhubung secara digital tetapi terputus secara emosional dan sosial. Tradisi-tradisi agama, pada intinya, hampir selalu bersifat komunal. Mereka menawarkan narasi tentang tanggung jawab bersama, belas kasih, dan pelayanan kepada masyarakat, yang dapat menjadi penangkal bagi fragmentasi sosial ini.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Terjemahan Kemenag 2019:

  1. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah,193) jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,194) jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban)195) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda),196) dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung Baitulharam sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya!197) Apabila kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al Maidah : 2)

193) Syiar-syiar kesucian Allah ialah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji, seperti tata cara melakukan tawaf dan sa’i, serta tempat-tempat mengerjakannya, seperti Ka‘bah, Safa, dan Marwah.

194) Bulan haram ialah Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab. Pada bulan-bulan itu dilarang melakukan peperangan.

195) Hadyu ialah hewan yang disembelih sebagai pengganti (dam) pekerjaan wajib yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang di dalam ibadah haji.

196) Qalā’id ialah hewan hadyu yang diberi kalung sebagai tanda bahwa hewan itu telah ditetapkan untuk dibawa ke Ka‘bah.

197) Yang dimaksud dengan karunia di sini ialah keuntungan yang diberikan Allah Swt. dalam perjalanan ibadah haji, sedangkan keridaan-Nya ialah pahala yang diberikannya atas ibadah haji.

 

  • Pluralisme dan Tantangan Hidup Berdampingan

Globalisasi dan mobilitas telah menciptakan masyarakat yang super majemuk. Kampus-kampus sendiri adalah mikrocosm dari dunia ini, di mana mahasiswa dari berbagai suku, bangsa, dan keyakinan bertemu. Kemajemukan ini adalah kekayaan, tetapi juga sumber potensial konflik, prasangka, dan ketidakpahaman. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang “Yang Lain” (The Other)—tentang nilai-nilai, sejarah, dan cara pandang mereka—koeksistensi yang damai akan rapuh. Pendidikan agama berperan penting dalam membangun jembatan pemahaman ini.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakankamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (Q.S. Al-Hujurat: 13).
  • Krisis Makna dan Spiritualitas dalam Dunia yang Materialistis

Dalam dunia yang sering diukur dengan KPI, ROI, GDP, dan lain sebagainya, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, tujuan, dan identitas seringkali terpinggirkan. “Apa arti hidup saya?” “Untuk apa semua pencapaian materi ini?” “Apa itu kebahagiaan yang sejati?” Kecemasan eksistensial ini adalah realitas bagi banyak manusia modern, terutama kaum muda yang sedang dalam pencarian jati diri. Agama-agama dunia, selama ribuan tahun, telah menjadi gudang kebijaksanaan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendalam manusia. Mereka menawarkan kerangka makna (framework of meaning) yang melampaui hal-hal yang bersifat materi dan segera.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Terjemahan Kemenag 2019:

  1. Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (Q.S. Ad Dzariyat: 56).
  • Kemajuan Teknologi yang Melampaui Etika

Revolusi bioteknologi, kecerdasan buatan (AI), rekayasa genetik, dan ilmu data berkembang dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun, perkembangan hukum dan norma etika seringkali tertinggal di belakang. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Bolehkah kita mengedit gen manusia?” “Bagaimana AI harus membuat keputusan hidup dan mati?” “Siapa yang memiliki data privasi kita?” bukan hanya pertanyaan teknis atau hukum, tetapi pada dasarnya adalah pertanyaan moral dan filosofis. Tradisi-tradisi agama telah lama melakukan refleksi mendalam tentang hakikat manusia, kehidupan, kematian, dan tanggung jawab, sehingga dapat memberikan sumbangsih yang sangat berharga dalam perdebatan etika teknologi ini.

Dengan memahami medan yang penuh tantangan inilah, kita dapat mulai melihat mengapa pendidikan agama Islam bukanlah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan strategis.

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Terjemahan Kemenag 2019:

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!, 2.  Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. 3.  Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, 4.  yang mengajar (manusia) dengan pena. 5.  Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al ‘Alaq : 1-5).

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?

Bab 2: Melampaui Doktrin: Mendefinisikan Ulang Pendidikan Agama Islam untukDunia Kampus

Pendidikan agama Islam di perguruan tinggi bukan—dan tidak boleh—sekadar pengulangan dari pendidikan agama di sekolah menengah atau madrasah diniyah. Pendekatannya harus berbeda, selaras dengan misi intelektual dan tingkat kedewasaan peserta didiknya.

2.1 Dari Indoktrinasi ke Edukasi: Menumbuhkan Pemikiran Kritis (Ijtihad)

Pendidikan agama Islam di kampus harus beralih dari model “bank” (menitipkan dogma) ke model “problematisasi” (mengajak berpikir). Tujuannya bukan untuk menghasilkan penganut yang hanya bisa menghafal, melainkan untuk membentuk individu yang mampu memahami, mengkritisi, dan merefleksikan keyakinannya sendiri dan keyakinan orang lain. Ini berarti membuka ruang untuk bertanya, meragukan, dan berdebat secara sehat tentang teks-teks suci, interpretasi sejarah, dan penerapan nilai-nilai agama dalam konteks kontemporer. Seorang mahasiswa teologi, misalnya, harus dikenalkan dengan berbagai metode kritik sejarah dan sastra terhadap kitab suci, bukan untuk melemahkan iman, tetapi untuk memperdalam pemahamannya tentang kompleksitas dan kekayaan teks tersebut.

2.2 Pendekatan Multidisipliner: Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam
Pendidikan agama Islam di PT harus mengintegrasikan perspektif dari berbagai disiplin ilmu:

  • Sosiologi Agama: Mengkaji bagaimana agama berfungsi dalam masyarakat, mempengaruhi struktur sosial, politik, dan ekonomi.
  • Psikologi Agama: Meneliti pengalaman religius, perkembangan keyakinan, dan hubungan antara spiritualitas dengan kesehatan mental.
  • Filsafat Agama: Membahas pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi Tuhan, masalah kejahatan, hakikat mukjizat, dan hubungan antara iman dan akal.
  • Antropologi Agama: Mempelajari praktik-praktik ritual, simbol-simbol, dan ekspresi keagamaan dalam berbagai budaya.
  • Sejarah Agama: Melacak perkembangan doktrin, institusi, dan perpecahan dalam tradisi agama sepanjang waktu.

Dengan pendekatan ini, agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted, melainkan sebagai fenomena manusiawi yang kompleks dan layak untuk dikaji secara akademis yang rigor.

2.3 Pendidikan Islam yang Inklusif dan Komparatif

Kurikulum harus melampaui satu agama tertentu (terutama agama mayoritas). Penting untuk memperkenalkan mahasiswa pada panorama pemikiran dan praktik keagamaan dunia. Mata kuliah “Studi Agama-Agama” atau “Filsafat Perennial” dapat membuka wawasan bahwa terdapat beragam jalan untuk mencari Yang Ilahi dan menjalani kehidupan yang bermoral. Ini bukan untuk menyamaratakan semua agama atau melemahkan keyakinan pribadi, tetapi untuk menumbuhkan rasa hormat dan empati. Memahami prinsip-prinsip dasar Buddhisme, etika Konfusianisme, atau konsep ketuhanan dalam Hinduisme, misalnya, sangat penting bagi seorang diplomat, pengusaha global, atau bahkan dokter yang melayani pasien dari beragam latar belakang.

2.4 Fokus pada Nilai Universal dan Etika Terapan (Akhlaq)

Inti dari banyak tradisi agama adalah serangkaian nilai universal: kejujuran, belas kasih, keadilan, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap kehidupan. Pendidikan agama Islam harus mengekstrak nilai-nilai ini dan menunjukkan relevansinya dalam bidang studi mahasiswa.

  • Untuk calon dokter: Etika kedokteran Islam atau Kristen tentang awal dan akhir kehidupan, prinsip do no harm, dan pelayanan kepada yang miskin.
  • Untuk calon pengusaha: Etika bisnisdalam Yahudi atau Confucianisme tentang kejujuran dalam kontrak, perlakuan adil kepada karyawan, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
  • Untuk calon insinyur: Tanggung jawab moral seorang insinyur dalam membangun infrastruktur yang aman dan berkelanjutan, yang dapat dilihat sebagai bentuk pemeliharaan terhadap ciptaan Tuhan (khalifah dalam Islam atau stewardship dalam Kristen).
  • Untuk calon ilmuwan: Refleksi tentang batas-batas penyelidikan ilmiah, tanggung jawab atas penemuan, dan kerendahan hati intelektual dalam menghadapi misteri alam semesta.

Dengan pendefinisian ulang ini, pendidikan agama Islam menjadi relevan bagi setiap mahasiswa, terlepas dari keyakinan pribadinya.

Bab 3: Urgensi Strategis: Mengapa Kampus Muslim Tidak Boleh Abai?

Mengabaikan pendidikan agama Islam yang holistik dan kritis sama saja dengan mengabaikan pembentukan manusia seutuhnya dan mempersiapkan mereka untuk dunia yang kompleks. Berikut adalah argumen-argumen strategis yang mendukung urgensinya.

3.1 Pembentukan Karakter dan Integritas Moral (Character Building)

Ini adalah alasan paling klasik namun tetap paling valid. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab tidak hanya untuk mencetak tenaga kerja yang terampil (skill), tetapi juga warga negara dan pemimpin yang berintegritas (virtue). Proses pembentukan karakter melibatkan internalisasi nilai-nilai. Agama Islam memberikan landasan transendental bagi nilai-nilai tersebut. Sebuah nilai seperti “jangan mencuri” lebih kuat ketika didasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan mengawasi dan bahwa keadilan akan ditegakkan, dibandingkan jika hanya berdasarkan pada fear of punishment (hukum positif) atau konsekuensi sosial. Pendidikan agama Islam membantu membangun kompas moral internal yang akan memandu tindakan mahasiswa bahkan ketika tidak ada yang mengawasi.

3.2 Penangkal Radikalisme dan Intoleransi

Paradoksnya, cara paling efektif untuk memerangi interpretasi agama yang sempit dan radikal adalah dengan memberikan pendidikan agama Islam yang komprehensif dan inklusif. Radikalisme seringkali tumbuh subur di tanah ketidaktahuan dan pemahaman yang dangkal terhadap teks-teks agama sendiri maupun agama lain. Dengan mengajarkan konteks historis, berbagai metode penafsiran, dan nilai-nilai perdamaian yang menjadi jantung semua agama besar, pendidikan agama Islam melucuti narasi-narasi kebencian. Seorang mahasiswa yang memahami bahwa ayat-ayat tertentu dalam kitabnya turun dalam konteks perang spesifik, dan bahwa terdapat ribuan ayat lain yang menyerukan perdamaian, akan lebih kebal terhadap propaganda yang memelintir agamanya untuk kekerasan.

3.3 Mempertajam Kepekaan Sosial dan Keadilan (Social Justice)

Banyak gerakan reformasi sosial terbesar dalam Sejarah mulai dari penghapusan perbudakan, perjuangan hak-hak sipil, hingga gerakan anti-apartheid diinspirasi oleh keyakinan agama yang mendalam. Nabi-nabi dalam tradisi Ibrahimiah seringkali tampil sebagai kritik sosial yang mengecam ketidakadilan, keserakahan para penguasa, dan penindasan terhadap kaum lemah. Nilai-nilai keadilan sosial ini sangat relevan hari ini dalam menghadapi kesenjangan ekonomi, ketimpangan akses kesehatan dan pendidikan, serta diskriminasi berdasarkan ras, gender, atau status. Pendidikan agama Islam dapat membangkitkan kembali semangat profetik ini dan memotivasi mahasiswauntuk tidak hanya mencari kesuksesan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada perbaikan masyarakat.

Berikut adalah contoh nabi dan perlawanannya terhadap kezaliman:

  • Nabi Musa AS
    • Kezaliman: Raja Firaun mengaku sebagai Tuhan dan memerintah dengan kejam terhadap Bani Israel.
    • Perlawanan: Nabi Musa AS berdakwah untuk menyembah Allah SWT dan menentang kekuasaan Firaun. Beliau juga diberi mukjizat untuk membelah Laut Merah demi menyelamatkan kaumnya dari Firaun.
  • Nabi Ibrahim AS
    • Kezaliman: Raja Namrud, penguasa zalim, mengklaim dirinya sebagai Tuhan dan menyembah patung berhala.
    • Perlawanan: Nabi Ibrahim AS menolak untuk menyembah berhala dan berdebat dengan Namrud tentang ketuhanan, hingga akhirnya Namrud murka dan memerintahkan agar Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup, namun Nabi Ibrahim selamat dari api tersebut.
  • Nabi Luth AS
    • Kezaliman: Kaum Nabi Luth AS melakukan dosa besar, yaitu perbuatan yang melawan nurani dan fitrah kemanusiaan.
    • Perlawanan: Nabi Luth AS mengingatkan kaumnya akan perilaku mereka, namun mereka tetap tidak percaya dan menantang Allah SWT untuk mendatangkan azab.
  • Nabi Nuh AS
    • Kezaliman: Kaum Nabi Nuh AS menyembah berhala dan tenggelam dalam kesesatan, bahkan mengejek ajaran yang disampaikan Nabi Nuh AS.
    • Perlawanan: Nabi Nuh AS berdakwah selama 950 tahun, tetapi hanya sedikit yang mengikutinya. Akhirnya, Allah SWT menurunkan azab berupa banjir besar untuk menenggelamkan kaum yang tidak beriman.

3.4 Meningkatkan Kesehatan Mental dan Ketahanan Diri (Resilience)

Studi-studi dalam psikologi positif semakin banyak menunjukkan korelasi antara praktik spiritual/keagamaan dengan kesehatan mental. Keyakinan agama Islam dapat memberikan:

  • Makna (Meaning): Membantu individu menemukan makna dalam penderitaan dan kegagalan.

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. 6. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. (Q.S. Al-Insyiroh: 5-6)
  • Harapan (Hope): Optimisme yang melampaui keadaan sekilas.

يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (Q.S. Yusuf : 87).
  • Dukungan Sosial (Social Support): Komunitas yang saling peduli.

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3.  dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin. (Q.S. Al Ma’un: 1-3).
  • Mekanisme Koping (Coping Mechanism):

Doa, meditasi, dan penyerahan diri dapat mengurangi stres dan kecemasan.
Di kampus, di mana tekananakademik, kompetisi, dan ketidakpastian masa depan seringkali memicu krisis mental, pendidikan agama Islam dapat menjadi sumber ketahanan yang berharga. Ia mengajarkan penerimaan, kesabaran, dan perspektif yang lebih luas tentang kehidupan.

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al Ankabut: 45).

3.5 Memfasilitasi Dialog Lintas Iman dan Budaya

Dalam dunia yang terhubung, keterampilan untuk terlibat dalam dialog yang produktif dan penuh hormat dengan orang yang berbeda keyakinan adalah suatu keharusan. Dialog ini tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan dasar. Pendidikan agama Islam yang komparatif memberikan pengetahuan itu. Ia mengajarkan “bahasa” dan “grammar” dari tradisi-tradisi lain, sehingga memungkinkan komunikasi yang lebih dalam daripada sekadar toleransi pasif (“saya membiarkan kamu exist”). Dialog aktif semacam ini penting untuk diplomasi, bisnis internasional, resolusi konflik, dan membangun kohesi sosial dalam masyarakat domestik yang majemuk.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran; 159).

Bab 4: Relevansi dalam Kehidupan Modern: Islam sebagai Kompas di Era Digital

Bagaimana tepatnya pendidikan agama Islam yang telah dijelaskan tersebut beroperasi dalam menghadapi tantangan modern yang spesifik?

4.1 Menghadapi Disinformasi dan Hoax

Agama-agama besar memiliki tradisi panjang tentang pentingnya kebenaran (satyagraha dalam Hinduisme, al-Haqq dalam Islam) dan larangan keras terhadap penyebaran kebohongan dan fitnah. Pendidikan agama Islam dapat menguatkan nilai kebenaran ini dan melatih mahasiswa untuk menjadi lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima dan sebarkan. Ia mendorong sikap “tabayyun” (cek dan ricek) seperti diajarkan dalam Islam, atau menjadi “penonton yang skeptis” terhadap media.

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Sesungguhnyadalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
  2. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

4.2 Etika dalam Ekosistem Digital dan Media Sosial

Platform digital adalah medan baru dimana nilai-nilai kemanusiaan diuji: cyberbullying, ujaran kebencian, cancel culture, dan erosi privasi. Pendidikan agama Islam dapat menerapkan nilai-nilai lama pada medan baru ini. Prinsip “Kasihilah sesamamu manusia” atau “Tidak berbahaya bagi makhluk lain” (ahimsa) dapat diterjemahkan menjadi etika dalam berkomentar. Konsep “gossip” dan “fitnah” yang dilarang dalam semua agama memiliki relevansi langsung dengan cara kita berinteraksi di grup WhatsApp atau Twitter.

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah53) itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Q.S. Al Baqarah: 191)

53) Fitnah dalam ayat ini berarti perbuatan yang menimbulkan kekacauan, seperti mengusir orang dari kampung halamannya, merampas harta, menyakiti orang lain, menghalangi orang dari jalan Allah Swt., atau melakukan kemusyrikan (lihat catatan kaki surah al-Baqarah [2]: 102).

4.3 Menemukan Keseimbangan dalam Budaya “Hustle” dan Konsumerisme

Budaya modern sering mendewakan produktivitas tanpa henti (hustle culture) dan kepemilikan materi. Tradisi-tradisi agama menawarkan kontra-naratif tentang pentingnya istirahat (Sabat dalam Yahudi/Kristen), kesederhanaan (zuhud dalam Islam, aparigraha dalam Jainisme), dan meluangkan waktu untuk refleksi dan keluarga. Mereka mengingatkan kita bahwa manusia bukan sekadar mesin produksi-konsumsi, tetapi makhluk yang memiliki dimensi spiritual yang perlu dipelihara.

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qahos: 77)

4.4 Menjawab Tantangan Bioetika dan AI

Seperti disinggung sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan tentang editing gen embrio, kloning, atau otonomi mesin pembunuh membutuhkan pandanganyang dalam tentang “Apa itu manusia?” dan “Apa yang membuat hidup manusia berharga?”. Agama-agama memiliki konsep tentang jiwa, keunikan ciptaan, dan martabat manusia yang bersumber dari Yang Ilahi. Konsep-konsep ini dapat memberikan parameter etika yang penting dalam perdebatan kebijakan publik tentang teknologi baru. Seorang insinyur AI yang pernah mempelajari etika teknologi dalam perspektif agama akan lebih mungkin untuk memasukkan prinsip-prinsip keselamatan dan kemanusiaan dalam desainnya.

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.211) Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.

211) Maksudnya, membunuh seorang manusia sama dengan menghalalkan pembunuhan terhadap seluruh manusia. Sebaliknya, menjaga kehormatan seorang manusia sama dengan menjaga kehormatan seluruh manusia. (Q.S. Al Maidah: 32)

4.5 Keberlanjutan Lingkungan dan Spiritualitas Ekologis

Krisis lingkungan adalah mungkin tantangan eksistensial terbesar umat manusia. Sains memberikan data dan teknologi, tetapi motivasi untuk berubah seringkali membutuhkan perubahan paradigma dan nilai yang lebih dalam. Banyak agama memiliki teologi lingkungan yang kaya. Konsep khalifah (pemelihara) dalam Islam, sanctity of creation (kekudusan ciptaan) dalam Kristen, atau prinsip ahiṃsā (tanpa kekerasan) terhadap semua makhluk dalam Jainisme dan Hinduisme, dapat membangkitkan rasa kagum, hormat, dan tanggung jawab terhadap alam. Pendidikan agama Islam dapat mengaktivasi spiritualitas ekologis ini, mengubah alam dari sekadar sumber daya yang dieksploitasi menjadi anugerah yang harus dilindungi.

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

  1. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al A’raf: 56).

Bab 5: Tantangan dan Kritik terhadap Pendidikan Agama Islam di PT

Tentu saja, implementasinya tidak tanpa hambatan. Mengakui dan menjawab kritik ini adalah bagian dari membangun model pendidikan agama Islam yang kuat.

5.1 Kritik: Pendidikan Agama Islam dapat Menjadi Alat Indoktrinasi

Ini adalah kritik yang valid jika pendekatannya dogmatis. Solusinya adalah dengan sangat berkomitmen pada pendekatanakademik-kritis yang telah dijelaskan. Dosen harus menciptakan ruang aman untuk mempertanyakan segala hal, dan kurikulum harus mencakup perspektif sekuler dan kritis terhadap agama itu sendiri.

5.2 Kritik: Bertentangan dengan Prinsip Negara Sekuler

Di Indonesia, ini bukan masalah karena Pancasila justru menjamin dan mengamanatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, di konteks lain atau dalam interpretasi tertentu, pendidikan agama Islam yang inklusif dan komparatif justru tidak mempromosikan satu agama negara tertentu, melainkan mempelajari semua agama sebagai fenomena budaya dan sosial. Ini sejalan dengan prinsip sekuler yang memisahkan negara dari agama tertentu tetapi tidak membutakan negara terhadap peran agama dalam masyarakat.

5.3 Tantangan: Kualitas Dosen dan Metode Pengajaran

Tantangan terbesar seringkala terletak pada SDM. Dosen pendidikan agama Islam harus memiliki kualifikasi ganda: mendalam dalam ilmu agamanya, tetapi juga menguasai pendekatan multidisipliner dan mampu menyampaikannya dengan cara yang menarik dan relevan bagi mahasiswa generasi Z/milenial. Pelatihan dan pengembangan profesional untuk dosen adalah kunci.

5.4 Tantangan: Kurikulum yang Kaku dan Tidak Relevan

Kurikulum harus terus-menerus direview dan diperbarui untuk menjawab tantangan zaman. Mata kuliah tentang “Agama dan Media Sosial”, “Spiritualitas dan Kesehatan Mental”, atau “Etika Bisnis dalam Perspektif Agama-Agama” akan jauh lebih menarik daripada sekadar mempelajari fiqh atau dogmatika klasik tanpa kontekstualisasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi: Menuju Integrasi Ilmu yang Mencerahkan

Pendidikan agama Islam di perguruan tinggi bukan tentang kembali ke masa lalu. Ia adalah proyek masa depan. Ia adalah investasi untuk menciptakan para pemimpin, ilmuwan, dokter, insinyur, dan seniman yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijaksana secara moral, berakar secara spiritual, dan berwawasan global.

Ia adalah upaya untuk meretas jalan kebijaksanaan di tengah banjir informasi, untuk membangun jembatan di tengah tembok prasangka, dan untuk menyalakan kompas di tengah lautan ketidakpastian. Oleh karena itu, kita perlu:

Pertama, Merevitalisasi Kurikulum: Mengembangkan mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang inklusif, komparatif, dan berfokus pada nilai dan etika terapan yang relevan dengan semua jurusan.

Kedua, Meningkatkan Kualitas Dosen: Melakukan pelatihan berkelanjutan untuk dosen agar mampu mengajar dengan pendekatan yang kritis, dialogis, dan interdisipliner.

Ketiga, Mengintegrasikan Nilai ke dalam Seluruh Kurikulum (Mainstreaming): Nilai-nilai keagamaan yang universal seperti integritas, keadilan, dan belas kasih tidak hanya diajarkan di kelas agama, tetapi juga harus diintegrasikan dalam perkuliahan di jurusan lain melalui studi kasus etika.

Keempat, Menciptakan Ruang Dialog: Universitas harus aktif menciptakan forum-forum dialog lintas iman dan budaya, melibatkan bukan hanya mahasiswa teologi tetapi seluruh civitas academika.

Kelima, Penelitian Interdisipliner: Mendorong penelitian yang mempertemukan ilmu agama dengan ilmu-ilmu lain, seperti neurosains dan spiritualitas, etika teknologi, atau sosiologi agama digital.

Pada akhirnya, tujuan pendidikan tinggi adalah pembebasan: pembebasan dari kebodohan, dari prasangka, dandari ketakutan. Pendidikan agama Islam, ketika diajarkan dengan semangat kebebasan intelektual dan kedalaman spiritual, merupakan salah satu instrumen paling ampuh untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Ia memastikan bahwa kemajuan yang kita capai sebagai peradaban bukan hanya kemajuan teknis yang memesona, tetapi juga kemajuan moral yang memanusiakan.

*Kuswantoro, S.Pd.I., M.Pd, Penulis adalah dosen Islamic Studies di STMIK Komputama

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
  2. Aslan, E. (2017). Islamic Education in Europe. Böhlau Verlag.
  3. Azra, A. (2006). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu.
  4. Berger, P. L. (2014). The Many Altars of Modernity: Toward a Paradigm for Religion in a Pluralist Age. De Gruyter.
  5. Esposito, J. L. (2011). Islam: The Straight Path. Oxford University Press.
  6. Hashim, R. (2017). Islamic Philosophy and Ethics. ISTAC.
  7. Hefner, R. W. (Ed.). (2010). Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education. Princeton University Press.
  8. Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah. Oxford University Press.
  9. Nasr, S. H. (2010). Islam in the Modern World: Challenged by the West, Threatened by Fundamentalism, Keeping Faith with Tradition. HarperOne.
  10. Niyozov, S., & Memon, N. (2011). Islamic Education and Islamization: Evolution of Themes, Continuities and New Directions. Journal of Muslim Minority Affairs.
  11. Rahman, F. (2017). Major Themes of the Qur’an. University of Chicago Press.
  12. Ramakrishna, K. (2014). Radical Pathways: Understanding Muslim Radicalization in Indonesia. Praeger.
  13. Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford University Press.
  14. Stenberg, L. (2018). Islam, Education and Radicalism in Indonesia: Instructing Piety. Routledge.
  15. Tayob, A. (2011). Religion in Modern Islamic Discourse. Columbia University Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *