Banyak orang di berbagai budaya percaya bahwa Safar adalah bulan yang membawa sial. Itu termasuk dalam sejumlah tradisi di Indonesia.
Padahal, itu lebih bersifat mitos budaya daripada ajaran Islam yang otentik. Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah, dan secara teologis tidak ada dasar Islam yang menetapkan bulan tertentu sebagai sial.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Bahkan ada empat peristiwa penting di bulan Safar yang tercatat dalam sejarah Islam.
- peristiwa pernikahan Rasulullah Saw dengan Khadijah binti Khuwailid.
- Kemenangan kaum Muslimin atas pasukan Hiraklius dalam perang Haibar.
- Pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima perang termuda berumur 20 tahun.
- Penaklukan negeri Persia di zaman Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 16 Hijriyah.
Mitos vs fakta
- Mitos: Safar membawa sial atau musibah. Fakta: Tidak ada landasan teologis atau hadis sah yang mendukung klaim ini. Musibah bisa terjadi kapan saja, bukan karena bulan spesifik.
- Mitos: Mereka yang lahir di Safar “ikut sial.” Fakta: Tidak ada ajaran yang membenarkan keyakinan semacam itu.
- Mitos: Ada ritual khusus untuk menghindari sial di Safar. Fakta: Tidak ada kewajiban atau praktik ibadah khusus yang hanya berlaku di bulan Safar. Ibadah dan doa tetap relevan kapan pun, bukan karena bulan tertentu.
Bagaimana menyikapi secara sehat?
- Fokus pada kebaikan: gunakan setiap bulan untuk meningkatkan amal, ibadah, dan akhlak.
- Hindari generalisasi: satu bulan tidak menentukan nasib pribadi atau keluarga.
- Gunakan Safar sebagai refleksi: evaluasi tujuan, rencana, dan hubungan; jadikan bulan ini sebagai peluang perbaikan diri.
- Hargai keragaman budaya: perbedaan keyakinan bisa dihormati selama tidak mengorbankan prinsip iman atau tujuan utama kita.
Source:
- nu.or.id
- ai.stmikkomputama.ac.id
- Meta.ai
- sulut.kemenag.go.id
*Penulis adalah jurnalis, membantu di Media Center STMIK Komputama Cilacap