Unikma.ac.id – Puputan Margarana adalah salah satu peristiwa heroik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terjadi pada 20 November 1946 di desa Marga, Kecamatan Margarana, Bali, Arsip Nasional Republik Indonesia (Anri) mencatat bahwa Puputan Margarana adalah pertempuran terdahsyat pada masa revolusi fisik di Bali.
Pertempuran Margarana memperlihatkan keberanian dan tekad luar biasa pasukan Indonesia yang dipimpin oleh Kolonel Infanteri I Gusti Ngurah Rai melawan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) Belanda, yang memiliki persenjataan dan jumlah pasukan jauh lebih unggul.
Seluruh pasukan Indonesia gugur, tetapi juga berhasil membuat 400 tentara musuh terbunuh. Puputan Margarana menjadi bukti tekad bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Latar Belakang Peristiwa
Melansir kemendikdasmen.go.id, pada 2 Maret 1946, pasukan NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie) yang didukung oleh Sekutu mendarat di Bali dengan kekuatan dua batalyon, yaitu Brigade Y yang berjuluk “Gajah Merah”. Mereka segera menduduki Denpasar dan daerah sekitarnya, termasuk Gianyar, Singaraja, Tabanan, hingga Karangasem. Kehadiran pasukan KNIL menciptakan ketegangan dan ancaman bagi rakyat Bali.
Pasukan republik di bawah komando Ngurah Rai menerapkan strategi perang gerilya. Belanda berusaha mempengaruhi Ngurah Rai agar berkhianat dengan iming-iming jabatan dan harta, tetapi upaya ini ditolak mentah-mentah oleh Ngurah Rai.
Pada 11 November 1946, Ngurah Rai bersama Kapten I Gusti Wayan Debes mengadakan pertemuan dengan Wagimin, seorang Komandan Polisi NICA yang berpihak pada Indonesia. Mereka menyusun rencana untuk menyerang Tangsi Polisi Tabanan guna merebut persenjataan Belanda. Rencana ini berhasil dijalankan pada 18 November 1946 oleh pasukan gabungan Anak Banteng dan Barisan Banteng yang bersenjatakan pedang, pentung, dan pisau belati.
Pertempuran Puputan Margarana
Keberhasilan penyerangan di Tangsi Polisi Tabanan membuat Belanda marah besar. Pada pagi hari 20 November 1946, pasukan Brigade Y KNIL mengepung desa Marga dan desa-desa di sekitarnya. Adu tembak pertama antara pasukan Ciung Wanara pimpinan Ngurah Rai dan tentara Belanda terjadi sekitar pukul 08.00 pagi di Pura Dalem Sidang Rapuh.
Meskipun pasukan Ciung Wanara yang berjumlah kurang dari 100 orang menghadapi kekuatan besar Belanda yang diperkuat pesawat pengebom, mereka tetap bertahan dengan semangat luar biasa. Para prajurit menyerukan “puputan,” sebuah konsep perang penghabisan khas Bali yang berarti bertempur hingga titik darah penghabisan.
Perlawanan ini berakhir tragis tetapi heroik. Sebanyak 86 prajurit Ciung Wanara gugur, termasuk Ngurah Rai. Sementara itu, pihak Belanda kehilangan sekitar 400 prajurit dalam pertempuran ini.
Puputan Margarana menjadi simbol pengorbanan dan keberanian luar biasa para pejuang kemerdekaan Indonesia. I Gusti Ngurah Rai dikenang sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan kedaulatan bangsa hingga nafas terakhirnya. Atas jasa-jasanya, I Gusti Ngurah Rai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1975. Namanya juga diabadikan dalam berbagai bentuk penghormatan, termasukBandara Internasional Ngurah Rai di Bali.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia diraih melalui pengorbanan besar dan semangat pantang menyerah dari para pahlawan bangsa.
—
Penulis: Tim Humas Universitas Komputama (UNIKMA), Cilacap, Jawa Tengah
Editor: Muhamad Ridlo
Sumber:
- Anri.go.id-https://mowid.anri.go.id/index.php/2-puputan-margarana-pertempuran-terdahsyat-pada-masa-refolusi-fisik-di-bali
- Kemendikdasmen.go.id-https://ditsmp.kemendikdasmen.go.id/ragam-informasi/article/puputan-margarana-perjuangan-i-gusti-ngurah-rai-dan-pasukan-ciung-wanara




